IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN KITAB KUNING DI PONDOK
PESANTREN QAMARUL HUDA BAGU PRINGGARATA LOMBOK TENGAH
A. LATAR BELAKANG
Pondok pesantren
merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang tumbuh dan berkembang pesat,
sekaligus memberikan andil yang sangat besar terhadap perkembangan pendidikan
di Indonesia, dari sebelum kemerdekaannya, sampai sekarang ini masih dapat
dilihat dimana-mana, khususnya di pedesaan, karena memang cikal bakal tumbuhnya
pondok pesantren berada di tempat-tempat yang tergolong primitif, walaupun
sekarang ini sudah masuk keranah perkotaan.
Terlepas dari kesemunya
itu, sebenarnya yang lebih menarik diperhatikan adalah keadaan pondok pesantren
tersebut, baik menyangkut isi, kehidupan maupun sistem yang diterapkan sebagai
jalan menuju perkembangan atau setidaknya regenerasi penguasaan khazanah
keilmuan, ilmu pengetahuan agama islam pada khususnya.
Selanjutnya, faktor
yang paling dominan dalam perkembangan pendidikan di pondok pesantren adalah
implementasi metode pembelajarannya. Keberlangsungan pembelajaran akan baik,
manakala kiai atau ustadz memahami berbagai metode atau cara bagaimana
materi itu diinternalisasikan kepada santrinya. Metode ini sangat penting
sekali, sebagaimana yang diungkapkan oleh Arief, bahwa dalam dunia proses belajar
mengajar, yang disingkat dengan PBM, dikenal dengan ungkapan “Metode lebih
jauh lebih peting daripada materi”.[1] Begitu
pentingnya metode pembelajaran, maka dari itulah ketika tidak adanya penguasaan
metode, maka akan mengakibatkan proses belajar mengajar tidak baik yang pada
akhirnya materi tersebut sulit diserap oleh peserta didik.
Begitu pula proses
pembelajaran yang berlangsung di pondok pesantren, seorang kiai[2] atau
ustadz[3] dituntut
untuk menguasai metode pembelajaran yang tepat untuk santrinya, termasuk dalam
metode pembelajaran kitab yang dikenal tanpa harakat (kitab gundul). Metode
pembelajaran kitab yang biasa dipakai di pesantren dari dulu sampai sekarang
adalah metode sorogan[4]
dan bandongan.[5]
Dari sekian banyak metode yang di terapkan di pondok pesantren, ternyata
sedikit atau bisa dikatakan tidak ada reaksi umpan balik dari pihak santri
dikarenakan figur seorang kiai atau ustadz yang harus selalu dihormati
dan dipatuhi, sehingga kita sering menemukan postulat “mendengarkan dan
mematuhi” yang masih dijadikan pegangan kuat oleh Pondok Pesantren, terutama di
Pondok Pesantren tradisional.
Selain itu, Bruinessen
mengungkapkan adanya keyakinan dari kiai, ustadz ataupun santri bahwa Kitab
kuning yang biasanya berwarna kuning merupakan teks klasik yang ada dan selalu
diberikan di pesantren sebagai Alkutub mu’tabarah, yaitu suatu ilmu yang
dianggap sudah bulat, tidak bisa diubah-ubah, hanya bisa diperjelas dan
dirumuskan kembali manakala kiai atau ustadz menghendaki.[6]
Kembali kepada proses
pembelajaran di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah,
penulis mengamati terdapat kesenjangan-kesenjangan, kesenjangan yang dimaksud
meliputi implementasi metode pembelajaran Kitab kuning, dalam observasi
penulis, menemukan mayoritas santri hanya berperan pasif, dalam artian selama
proses pembelajaran kitab, mereka tidak banyak mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan ataupun komentar seputar kitab yang dipelajarinya.
Tidak diketahui, apakah
mereka diam karena mereka sudah paham, ataukah ada sebab-sebab yang lain. Sikap
pasif itu juga kebanyakan mereka tunjukkan di lingkungan luar pesantren, bagi
santri yang bersekolah di lembaga pendidikan formal, hampir sama dengan ketika
mereka berada dalam lingkungan pesantren. Selain itu, penulis melihat materi
atau pelajaran Kitab kuning yang disampaikan oleh kiai atau ustadz, masih
kurang menyentuh pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagian
santri. Hal ini diketahui dari pola pikir dan tingkah laku mereka sehari-hari,
baik itu dilingkungan pesantren maupun diluar pesantren, namun disisi lain juga
terdapat nilai positif yang terpendam didalamnya, yaitu proses pembelajaran
kitab kuning mampu menyelesaikannya dalam waktu yang singkat dan dapat
mengajarkan santri lebih banyak.[7] Keadaan
inilah yang mendorong penulis untuk mencari akar penyebab terjadinya
kesenjangan-kesenjangan tersebut.
Ketidak adanya feedback antara kiai atau ustdz terhadap santrinya, akan bisa
menimbulkan efek negatif ketika santrinya memanifestasikan isi ajaran kitab
tersebut kedalam kehidupan sehari-hari, padahal mengingat pentingnya
pemahaman terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam kitab itu dan apabila pemahaman
para santri terhadap isi/ajaran kitab salah, maka dalam pensosialisasian ajaran
dari kitab tersebut di tengah-tengah masyarakat akan berakibat fatal/kurang
baik.
Oleh sebab itulah,
penulis mengangkat penulisan ini dengan judul “Implementasi Metode
Pembelajaran Kitab kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgrata
Lombok Tengah”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang yang sudah dipaparkan di atas maka yang menjadi Rumusan Masalah dalam
penulisan ini adalah :
1.
Bagaimana Implementasi
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Pringgarata Lombok Tengah?
2.
Apa yang menjadi faktor
penghambat dan pendukung dalam Implementasi
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Pringgarata Lombok Tengah?
3.
Upaya apakah yang dilakukan
untuk mengatasi hambatan-hambatan dan memenuhi dukungan dalam Implementasi
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Pringgarata Lombok Tengah?
C. TUJUAN PENULISAN
Merumuskan tujuan
penulisan adalah hal yang sangat penting untuk meluruskan jalannya penulisan
pada sasaran yang ingin di capai setelah melakukan penulisan. Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1.
Menggambarkan Implementasi
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Lombok
Tengah.
2.
Menjelaskan faktor
penghambat dan Pendukung Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah.
3.
Mendeskripsikan tentang
upaya yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah
dalam Implementasi Metode Pembelajaran Kitabs kuning.
D. LANDASAN TEORI
Adapun dalam pembahasan
ini, penulis akan membahas tentang landasan teori yang akan dijadikan ukuran
atau standarisasi dalam pembahasan pada judul skripsi diatas. Adapun landasan teoritis tersebut yaitu:
1.
Konsep Dasar Kitab Kuning
Konsep dasar kitab kuning ini meliputi :
a.
Pengertian kitab kuning.
Dalam dunia pesantren
asal-usul penyebutan atau istilah dari kitab kuning atau Kitab kuning belum
diketahui secara pasti. Penyebutan ini didasarkan pada sudut pandang yang
berbeda-beda, diantaranya dinyatakan oleh Masdar F. Mas’udi “kemungkinan besar
sebutan itu datang dari pihak orang luar dengan konotasi yang sedikit mengejek.
Terlepas dengan maksud apa dan oleh siapa dicetuskan, istilah itu kini telah
semakin memasyarakat baik di luar maupun di
lingkungan pesantren.”[8]
Dikalangan pesantren
sendiri, di samping istilah “kitab kuning”, terdapat juga istilah “kitab
klasik” (Al-kutub Al-qadimah), karena kitab yang ditulis merujuk pada
karya-karya tradisional ulama berbahasa Arab yang gaya dan bentuknya berbeda
dengan buku modern.[9]
Dalam rumusan yang
lebih rinci, definisi dari kitab kuning: pertama ditulis oleh
ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang
dipedomani oleh para ulama Indonesia, kedua ditulis oleh ulama Indonesia
sebagai karya tulis yang “independen”, dan ketiga ditulis oleh ulama
Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.[10]
Jadi peneliti mengambil
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan kitab kuning adalah buku/kitab yang
berbahasa arab tanpa disertai tanda baca, yang berisi tentang ilmu pengetahuan
agama islam yang di produk oleh ulama-ulama masa lampau.
b.
Jenis-jenis kitab kuning di
pondok pesantren.
Kitab kuning
diklasifikasikan ke dalam empat kategori yaitu dilihat dari kandungan maknanya,
dilihat dari kadar penyajiannya, dilihat dari kreatifitas penulisannya, dan
dilihat dari penampilan uraiannya.[11]
Adapun rincian
kitab-kitab yang menjadi konsentrasi keilmuan pesantren adalah cabang ilmu
fiqh, cabang ilmu tauhid, cabang ilmu tasawuf, dan cabang ilmu hahwu-sharaf.[12]
Jadi peneliti dapat
mengambil benang merah bahwa jenis-jenis Kitab kuning yang sering digunakan
oleh Pondok Pesantren mencakup kategori tingkat kajian kitab sedang, menengah
dan besar.
c.
Ciri-ciri kitab kuning.
Penjabaran
mengenai ciri-ciri Kitab kuning sangatlah penting disentuh oleh peneliti,
dikarenakan banyak sekali yang salah memahaminya, ada juga yang kebingungan,
seperti apakah Kitab kuning tersebut, bagaimanakah bentuk dan lainnya. Disini
peneliti memberikan pemaparan melalui pendapat oleh para pakar dibidang
pendidikan Pondok Pesantren. Muhaimin merincikan ciri-ciri Kitab kuning dengan
mengatakan bahwa ada 6 ciri Kitab kuning tersebut :
“Ciri-ciri Kitab kuning adalah 1)
kitab-kitabnya menggunakan bahasa Arab, 2) umumnya tidak memakai syakal (tanda
baca atau baris), bahkan tanpa memakai titik, koma, 3) berisi keilmuan yang
cukup berbobot, 4) metode penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan
ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis, 5) lazimnya dikaji dan dipelajari di
Pondok Pesantren, dan 6) banyak diantara kertasnya berwarna kuning”.[13]
Yang lain juga
diungkapkan oleh Mujamil, yaitu :
“Pertama, penyusunannya dari yang
lebih besar terinci ke yang lebih kecil seperti kitabun, babun, fashlun,
farun, dan seterusnya. Kedua, tidak menggunakan tanda baca yang lazim,
tidak memakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya.
Ketiga, selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu seperti untuk
menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah Al-madzhab, Al-ashlah,
as-shalih, Al-arjah, Al-rajih, dan seterusnya, untuyk menyatakan
kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan istilah ijmaan, sedang
untuk menyatakan kesepakatan antar ulama dalam satu madzhab digunakan istilah ittifaaqan”.[14]
2.
Metode Pembelajaran Kitab
Kuning
Metode pembelajaran kitab kuning ini mencakup :
a.
Pengertian metode
pembelajaran.
Secara etimologi,
istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri
dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan
“hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang
dilalui untuk mencapai tujuan.[15]
Metode adalah tuntunan
tentang jalan yang harus ditempuh untuk menyampaikan atau menyajikan sesuatu
pendidikan dan pelajaran agar berhasil sukses.[16] Dalam
bahasa Arab metode disebut “thariqat”, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “metode” adalah “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai maksud”.[17]
b.
Macam-macam metode
pembelajaran kitab kuning
Menurut Zamakhsyari
Dhofier dan Nurcholish Madjid, metode pembelajaran Kitab kuning di pesantren
meliputi, metode sorogan, dan bandongan. Sedangkan Husein
Muhammad menambahkan bahwa, selain metode yang diterapkan dalam pembelajaran
Kitab kuning adalah metode wetonan atau bandongan, dan metode sorogan,
diterapkan juga metode diskusi (munazharah),
metode evaluasi, dan metode hafalan.[18]
c.
Kiai dalam pembelajaran
kitab kuning
Kiai merupakan salah
satu elemen yang paling esensial dalam sebuah pesantren, karena kiai adalah
seorang pendiri, perintis, atau cikal bakal pesantren. Menurut asal-usulnya,
kata kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda
yaitu sebagai gelar kehormatan bagi barangbarang yang dianggap keramat, gelar
kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, gelar yang diberikan oleh
masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan
pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Selain gelar
kiai, ia juga disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).[19]
Menurut Muhibbin, guru
adalah seseorang yang menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain
(bersifat kognitif), melatih keterampilan jasmani kepada orang lain (bersifat
psikomotor), dan yang menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain
(bersifat afektif).[20]
d.
Santri dalam pembelajaran
kitab kuning
Dalam pandangan Islam,
peserta didik merupakan pemimpin masa depan. Mereka juga yang akan menjalankan
roda ekonomi di kemudian hari. Merekalah yang menjadi peletak batu pembangunan
yang menyeluruh bagi masyarakatnya. Mereka pula yang menjadi tiang peradaban
dan sumber semangat serta penggerak perhatian terhadap jihad di jalan Allah.
Zamrkhasyari Dhofier “santri” dibagi menjadi dua bagian, yaitu[21] :
santri mukim dan santri kalongan.
e.
Faktor pendukung dan
penghambat dalam pembelajaran kitab kuning
Dalam pencapaian tujuan
tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor-faktor
pendukung dan penghambat dalam pembelajaran Kitab kuning. Faktor-faktor
tersebut meliputi metode, materi, sarana dan prasarana, santri dan kiai dalam
pembelajaran Kitab kuning.[22]
E. METODE PENULISAN
1.
Jenis Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan
dalam penulisan adalah metode kualitatif. Penulis memakai pendekatan ini, karena penulisan ini bersifat
“naturalistik” artinya penulisan ini terjadi secara alami, apa adanya, dalam
situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya menekankan pada
deskripsi secara alami.[23]
Adapun
jenis dan pelaksanaannya menggunakan tekhnik “studi kasus”. Penulisan kasus
atau teknik studi kasus adalah suatu penulisan yang dilakukan secara intensif,
terinci, dan mendetail terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu[24]. Karena
sifat yang mendalam dan mendetail tersebut, studi kasus umumnya menghasilkan
gambaran yang ‘longitudinal’ yakni hasil pengumpulan dan analisa data kasus
dalam satu jangka waktu.
2.
Prosedur Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan
dalam penulisan ini adalah :
a.
Metode Dokumentasi
Yang dimaksud dengan
metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda, dan sebagainya.[25] Metode
ini dipergunakan untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya, keadaan,
sarana dan prasarananya.
b. Metode Interview
Metode interview adalah
sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara.[26]
Metode ini penulis gunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada
hubungannya dengan jenis data yang penulis perlukan.
c. Pengamatan Berperanserta
Pengamatan
berperanserta menceritakan pada penulis apa yang dilakukan oleh orang-orang
dalam situasi di saat penulis memperoleh kesempatan mengadakan pengamatan.
Bogdan dalam Moleong mendefinisikan bahwasanya, pengamatan berperanserta
sebagai penulisan yang bercirikan interaksi sosial, yang memakan waktu cukup
lama antara penulis dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data
dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa
gangguan.[27]
Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperanserta
dan yang tidak berperanserta. Pada pengamatan tanpa peranserta pengamat hanya
melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan.
Pengamatan berperanserta
melakukan dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi
anggota resmi dari kelompok yang diamatinya.[28] Dalam
hal ini penulis adalah pengamat sebagai pemeranserta, yang mana peranan
pengamat secara terbuka diketahui oleh umum bahkan mungkin ia atau mereka
disponsori oleh para subjek. Karena itu maka segala macam informasi termasuk
rahasia sekalipun dapat dengan mudah diperoleh oleh penulis.
3.
Analisis Data
Analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data.[29]
Pengelolaan data atau analisis data merupakan tahap yang penting dan
menentukan. Karena pada tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang diinginkan dalam
penulisan.
Dalam menganalisis data ini, penulis
menggunakan tekhnik analisis deskriptif kualitatif, dimana tekhnik ini penulis
gunakan untuk menggambarkan, menuturkan, melukiskan serta menguraikan data yang
bersifat kualitatif yang telah penulis peroleh dari hasil metode pengumpulan
data. Menurut Seiddel proses analisis data kualitatif adalah sebagai berikut :
a.
Mencatat sesuatu yang
dihasilkan dari catatan lapangan, kemudian diberi kode agar sumber datanya
tetap dapat ditelusuri.
b.
Mengumpulkan, memilah-milah,
mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
c.
Berpikir dengan jalan
membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan
hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.[30]
Adapun langkah yang digunakan penulis
dalam menganalisa data yang telah diperoleh dari berbagai sumber tidak jauh
beda dengan langkah-langkah analisa data di atas, yaitu:
a.
Mencatat dan menelaah
seluruh hasil data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,
observasi dan dokumentasi.
b.
Mengumpulkan, memilah-milah,
mensistesiskan, membuat ikhtisar dan mengklasifikasikan data sesuai dengan data
yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah.
Dari data yang telah dikategorikan
tersebut, kemudian penulis berpikir untuk mencari makna, hubungan-hubungan, dan
membuat temuantemuan umum terkait dengan rumusan masalah. Dalam menganalisis
data, penulis juga harus menguji keabsahan data agar memperoleh data yang
valid. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam penulisan ini digunakan
lima teknik pengecekan dari sembilan teknik yang dikemukakan oleh Moleong.
“Kelima teknik tersebut adalah Observasi yang dilakukan secara terus menerus (persistent
observation), Trianggulasi (trianggulation) sumber data, metode, dan
penulisan lain, Pengecekan anggota (member check), 4) Diskusi teman
sejawat (reviewing) dan Pengecekan mengenai ketercukupan refrensi (referential
adequacy check)”.[31]
Penjelasan secara rinci adalah sebagai
berikut:
a.
Observasi secara terus
menerus
Langkah ini dilakukan
dengan mengadakan observasi secara terus menerus terhadap subyek yang diteliti,
guna memahami gejala lebih mendalam, sehingga dapat mengetahui aspek-aspek yang
penting sesuai dengan fokus penulisan.
b.
Trianggulasi
Yang dimaksud
trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain, di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu, tekniknya dengan pemeriksaan sumber lainnya.[32] Hamidi
menjelaskan “teknik trianggulasi ada lima, yaitu: pertama Trianggulasi
metode, kedua Trianggulasi penulis, ketiga Trianggulasi sumber, keempat
Trianggulasi situasi, dan kelima Trianggulasi teori.
c.
Pengecekan anggota
Langkah ini dilakukan
dengan melibatkan informan untuk mereview data, untuk mengkonfirmasikan antara
data hasil interpretasi penulis dengan pandangan subyek yang diteliti. Dalam member
check ini tidak diberlakukan kepada semua informan, melainkan hanya kepada
mereka yang dianggap mewakili.
d.
Diskusi teman sejawat
Dilaksanakan dengan
mendiskusikan data yang telah terkumpul dengan pihak-pihak yang memiliki
pengetahuan dan keahlian yang relevan, seperti pada dosen pembimbing, pakar
penulisan atau pihak yang dianggap kompeten dalam konteks penulisan, termasuk
juga teman sejawat.
e.
Ketercukupan refrensi
Untuk memudahkan upaya
pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan penulisan dengan data yang diperoleh
dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan penyimpanan data dan informasi
terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan penyimpanan terhadap metode yang
digunakan untuk menghimpun dan menganalisis data selama penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta:
LP3ES.
Arief, Armai. 2002. Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Dawam Rahardjo, M. 1985. Pesantren dan Pembaharuan.
Jakarta: LP3ES.
Dawam Rahardjo, M. 1985. Pergulataan Dunia Pesantren.
Jakarta: LP3ES.
Van Bruinessen, Martin. 1995.
Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung : Mizan.
Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta:
LKiS.
Aqiel Siradj, Sa’id, dkk.
2004. Pesantren Masa Depan. Cirebon: Pustaka Hidayah.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi
Pendidikan., Bandung: Rosdakarya.
Suharsimi, Prof. Dr. Arikunto. 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta:
Jakarta.
Lexy J, Moeloeng. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif Jakarta: Rineka Cipta.
[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, Ciputat Press, Ciputat, 2002, hal.26.
[2] Kiai adalah sebuah gelar
untuk menunjuk para ulama’ dari kelompok islam tradisional. (Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1994, hal.55).
[3] Menurut M.Habib Chirzin,
ustadz adalah pembantu kiai yang disebut badal (pengganti) atau qari’
(pembaca) yang terdiri dari santri senior. (M. Dawam Rahardjo, Pesantren
dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1985, hal.88).
[4] Sorogan berasal dari kata sorog yang berarti
mengajukan, seorang santri menyodorkan kepada
kiai atau ustdz, kemudian diberikan tuntunan cara membaca, menghafal dan
menerjemahkannya (M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, P3M,
Jakarta, 1985, hal.118.)
[5]
Bandongan adalah mengikuti dan memperhatikan apa yang dibacakan, diartikan dan
dijelaskan oleh kiai atau ustdz (Ibid, hal.118.)
[6] Martin Van Bruinessen, Kitab
kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan,
Bandung, 1995, hal.17.
[7]
“Observasi pada tanggal 27 maret 2013”.
[8] M. Dawam Rahardjo, Op.Cit,.
hal.55.
[9] Endang Turmudi, Perselingkuhan
Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal.36.
[10] Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Pesantren
Masa Depan, Pustaka Hidayah, Cirebon, 2004, 222.
[11] Ibid, hal.335.
[12] Nurcholish Madjid, Modernisasi
Pesantren, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hal.68-70.
[13] Muhaimin, Pemikiran
Pendidikan Islam, Trigenda Karya, Bandung, 1993, hal.300.
[14] Menurut Mujamil Qamar
(Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta:LKiS, 1994. hal.264).
[15] Armai Arief, Op.Cit,. hal.
12.
[16] Menurut Husein Haikal (M.
Dawam Rahardjo, Op. Cip., hal.25).
[17] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal.652.
[18] Sa’id Aqiel Siradj, dkk,
Op. Cit., hal. 280.
[19] Zamakhsyari Dhofier, Op.
Cit., hal.55.
[20] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan, Bandung:Rosdakarya, 2004, hal.223.
[21] Zamakhsyari Dhofier, Op.
Cit, hal.51.
[22] M.Dawam Rahardjo, Op.
Cit., hlm.56.
[23] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penulisan, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm.12.
[24] Ibid,hal. 120.
[25] Ibid, hal.236.
[26] Ibid, hal.133.
[28] Ibid, hal.126.
[29] Ibid, hal.103.
[30] Ibid, hal.248.
[31] Ibid, hal.175-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar