Jumat, 26 Juli 2013

PROPOSAL SKRIPSI

IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN KITAB KUNING DI PONDOK PESANTREN QAMARUL HUDA BAGU PRINGGARATA LOMBOK TENGAH
A.    LATAR BELAKANG
Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang tumbuh dan berkembang pesat, sekaligus memberikan andil yang sangat besar terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, dari sebelum kemerdekaannya, sampai sekarang ini masih dapat dilihat dimana-mana, khususnya di pedesaan, karena memang cikal bakal tumbuhnya pondok pesantren berada di tempat-tempat yang tergolong primitif, walaupun sekarang ini sudah masuk keranah perkotaan.
Terlepas dari kesemunya itu, sebenarnya yang lebih menarik diperhatikan adalah keadaan pondok pesantren tersebut, baik menyangkut isi, kehidupan maupun sistem yang diterapkan sebagai jalan menuju perkembangan atau setidaknya regenerasi penguasaan khazanah keilmuan, ilmu pengetahuan agama islam pada khususnya.
Selanjutnya, faktor yang paling dominan dalam perkembangan pendidikan di pondok pesantren adalah implementasi metode pembelajarannya. Keberlangsungan pembelajaran akan baik, manakala kiai atau ustadz memahami berbagai metode atau cara bagaimana materi itu diinternalisasikan kepada santrinya. Metode ini sangat penting sekali, sebagaimana yang diungkapkan oleh Arief, bahwa dalam dunia proses belajar mengajar, yang disingkat dengan PBM, dikenal dengan ungkapan “Metode lebih jauh lebih peting daripada materi”.[1] Begitu pentingnya metode pembelajaran, maka dari itulah ketika tidak adanya penguasaan metode, maka akan mengakibatkan proses belajar mengajar tidak baik yang pada akhirnya materi tersebut sulit diserap oleh peserta didik.
Begitu pula proses pembelajaran yang berlangsung di pondok pesantren, seorang kiai[2] atau ustadz[3] dituntut untuk menguasai metode pembelajaran yang tepat untuk santrinya, termasuk dalam metode pembelajaran kitab yang dikenal tanpa harakat (kitab gundul). Metode pembelajaran kitab yang biasa dipakai di pesantren dari dulu sampai sekarang adalah metode sorogan[4] dan bandongan.[5] Dari sekian banyak metode yang di terapkan di pondok pesantren, ternyata sedikit atau bisa dikatakan tidak ada reaksi umpan balik dari pihak santri dikarenakan figur seorang kiai atau ustadz yang harus selalu dihormati dan dipatuhi, sehingga kita sering menemukan postulat “mendengarkan dan mematuhi” yang masih dijadikan pegangan kuat oleh Pondok Pesantren, terutama di Pondok Pesantren tradisional.
Selain itu, Bruinessen mengungkapkan adanya keyakinan dari kiai, ustadz ataupun santri bahwa Kitab kuning yang biasanya berwarna kuning merupakan teks klasik yang ada dan selalu diberikan di pesantren sebagai Alkutub mu’tabarah, yaitu suatu ilmu yang dianggap sudah bulat, tidak bisa diubah-ubah, hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali manakala kiai atau ustadz menghendaki.[6]
Kembali kepada proses pembelajaran di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah, penulis mengamati terdapat kesenjangan-kesenjangan, kesenjangan yang dimaksud meliputi implementasi metode pembelajaran Kitab kuning, dalam observasi penulis, menemukan mayoritas santri hanya berperan pasif, dalam artian selama proses pembelajaran kitab, mereka tidak banyak mengemukakan pertanyaan-pertanyaan ataupun komentar seputar kitab yang dipelajarinya.
Tidak diketahui, apakah mereka diam karena mereka sudah paham, ataukah ada sebab-sebab yang lain. Sikap pasif itu juga kebanyakan mereka tunjukkan di lingkungan luar pesantren, bagi santri yang bersekolah di lembaga pendidikan formal, hampir sama dengan ketika mereka berada dalam lingkungan pesantren. Selain itu, penulis melihat materi atau pelajaran Kitab kuning yang disampaikan oleh kiai atau ustadz, masih kurang menyentuh pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagian santri. Hal ini diketahui dari pola pikir dan tingkah laku mereka sehari-hari, baik itu dilingkungan pesantren maupun diluar pesantren, namun disisi lain juga terdapat nilai positif yang terpendam didalamnya, yaitu proses pembelajaran kitab kuning mampu menyelesaikannya dalam waktu yang singkat dan dapat mengajarkan santri lebih banyak.[7] Keadaan inilah yang mendorong penulis untuk mencari akar penyebab terjadinya kesenjangan-kesenjangan tersebut.
Ketidak adanya feedback antara kiai atau ustdz terhadap santrinya, akan bisa menimbulkan efek negatif ketika santrinya memanifestasikan isi ajaran kitab tersebut kedalam kehidupan sehari-hari, padahal mengingat pentingnya pemahaman terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam kitab itu dan apabila pemahaman para santri terhadap isi/ajaran kitab salah, maka dalam pensosialisasian ajaran dari kitab tersebut di tengah-tengah masyarakat akan berakibat fatal/kurang baik.
Oleh sebab itulah, penulis mengangkat penulisan ini dengan judul “Implementasi Metode Pembelajaran Kitab kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgrata Lombok Tengah”.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas maka yang menjadi Rumusan Masalah dalam penulisan ini adalah :
1.      Bagaimana Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah?
2.      Apa yang menjadi faktor penghambat dan pendukung dalam Implementasi  Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah?
3.      Upaya apakah yang dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan dan memenuhi dukungan dalam Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah?
C.    TUJUAN PENULISAN
Merumuskan tujuan penulisan adalah hal yang sangat penting untuk meluruskan jalannya penulisan pada sasaran yang ingin di capai setelah melakukan penulisan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1.      Menggambarkan Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah.
2.      Menjelaskan faktor penghambat dan Pendukung Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah.
3.      Mendeskripsikan tentang upaya yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah dalam Implementasi Metode Pembelajaran Kitabs kuning.
D.    LANDASAN TEORI
Adapun dalam pembahasan ini, penulis akan membahas tentang landasan teori yang akan dijadikan ukuran atau standarisasi dalam pembahasan pada judul skripsi diatas. Adapun  landasan teoritis tersebut yaitu:
1.      Konsep Dasar Kitab Kuning
Konsep dasar kitab kuning ini meliputi :
a.       Pengertian kitab kuning.
Dalam dunia pesantren asal-usul penyebutan atau istilah dari kitab kuning atau Kitab kuning belum diketahui secara pasti. Penyebutan ini didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda, diantaranya dinyatakan oleh Masdar F. Mas’udi “kemungkinan besar sebutan itu datang dari pihak orang luar dengan konotasi yang sedikit mengejek. Terlepas dengan maksud apa dan oleh siapa dicetuskan, istilah itu kini telah semakin memasyarakat baik di luar maupun di  lingkungan pesantren.”[8]
Dikalangan pesantren sendiri, di samping istilah “kitab kuning”, terdapat juga istilah “kitab klasik” (Al-kutub Al-qadimah), karena kitab yang ditulis merujuk pada karya-karya tradisional ulama berbahasa Arab yang gaya dan bentuknya berbeda dengan buku modern.[9]
Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi dari kitab kuning: pertama ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia, kedua ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan ketiga ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.[10]
Jadi peneliti mengambil pemahaman bahwa yang dimaksud dengan kitab kuning adalah buku/kitab yang berbahasa arab tanpa disertai tanda baca, yang berisi tentang ilmu pengetahuan agama islam yang di produk oleh ulama-ulama masa lampau.
b.      Jenis-jenis kitab kuning di pondok pesantren.
Kitab kuning diklasifikasikan ke dalam empat kategori yaitu dilihat dari kandungan maknanya, dilihat dari kadar penyajiannya, dilihat dari kreatifitas penulisannya, dan dilihat dari penampilan uraiannya.[11]
Adapun rincian kitab-kitab yang menjadi konsentrasi keilmuan pesantren adalah cabang ilmu fiqh, cabang ilmu tauhid, cabang ilmu tasawuf, dan cabang ilmu hahwu-sharaf.[12]
Jadi peneliti dapat mengambil benang merah bahwa jenis-jenis Kitab kuning yang sering digunakan oleh Pondok Pesantren mencakup kategori tingkat kajian kitab sedang, menengah dan besar.
c.       Ciri-ciri kitab kuning.
Penjabaran mengenai ciri-ciri Kitab kuning sangatlah penting disentuh oleh peneliti, dikarenakan banyak sekali yang salah memahaminya, ada juga yang kebingungan, seperti apakah Kitab kuning tersebut, bagaimanakah bentuk dan lainnya. Disini peneliti memberikan pemaparan melalui pendapat oleh para pakar dibidang pendidikan Pondok Pesantren. Muhaimin merincikan ciri-ciri Kitab kuning dengan mengatakan bahwa ada 6 ciri Kitab kuning tersebut :
“Ciri-ciri Kitab kuning adalah 1) kitab-kitabnya menggunakan bahasa Arab, 2) umumnya tidak memakai syakal (tanda baca atau baris), bahkan tanpa memakai titik, koma, 3) berisi keilmuan yang cukup berbobot, 4) metode penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis, 5) lazimnya dikaji dan dipelajari di Pondok Pesantren, dan 6) banyak diantara kertasnya berwarna kuning”.[13]

Yang lain juga diungkapkan oleh Mujamil, yaitu :
“Pertama, penyusunannya dari yang lebih besar terinci ke yang lebih kecil seperti kitabun, babun, fashlun, farun, dan seterusnya. Kedua, tidak menggunakan tanda baca yang lazim, tidak memakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya. Ketiga, selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu seperti untuk menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah Al-madzhab, Al-ashlah, as-shalih, Al-arjah, Al-rajih, dan seterusnya, untuyk menyatakan kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan istilah ijmaan, sedang untuk menyatakan kesepakatan antar ulama dalam satu madzhab digunakan istilah ittifaaqan”.[14]

2.      Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Metode pembelajaran kitab kuning ini mencakup :
a.       Pengertian metode pembelajaran.
Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[15]
Metode adalah tuntunan tentang jalan yang harus ditempuh untuk menyampaikan atau menyajikan sesuatu pendidikan dan pelajaran agar berhasil sukses.[16] Dalam bahasa Arab metode disebut “thariqat”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode” adalah “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud”.[17]
b.      Macam-macam metode pembelajaran kitab kuning
Menurut Zamakhsyari Dhofier dan Nurcholish Madjid, metode pembelajaran Kitab kuning di pesantren meliputi, metode sorogan, dan bandongan. Sedangkan Husein Muhammad menambahkan bahwa, selain metode yang diterapkan dalam pembelajaran Kitab kuning adalah metode wetonan atau bandongan, dan metode sorogan, diterapkan juga  metode diskusi (munazharah), metode evaluasi, dan metode hafalan.[18] 
c.       Kiai dalam pembelajaran kitab kuning
Kiai merupakan salah satu elemen yang paling esensial dalam sebuah pesantren, karena kiai adalah seorang pendiri, perintis, atau cikal bakal pesantren. Menurut asal-usulnya, kata kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda yaitu sebagai gelar kehormatan bagi barangbarang yang dianggap keramat, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).[19]
Menurut Muhibbin, guru adalah seseorang yang menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif), melatih keterampilan jasmani kepada orang lain (bersifat psikomotor), dan yang menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (bersifat afektif).[20]
d.      Santri dalam pembelajaran kitab kuning
Dalam pandangan Islam, peserta didik merupakan pemimpin masa depan. Mereka juga yang akan menjalankan roda ekonomi di kemudian hari. Merekalah yang menjadi peletak batu pembangunan yang menyeluruh bagi masyarakatnya. Mereka pula yang menjadi tiang peradaban dan sumber semangat serta penggerak perhatian terhadap jihad di jalan Allah. Zamrkhasyari Dhofier “santri” dibagi menjadi dua bagian, yaitu[21] : santri mukim dan santri kalongan.
e.       Faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran kitab kuning
Dalam pencapaian tujuan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran Kitab kuning. Faktor-faktor tersebut meliputi metode, materi, sarana dan prasarana, santri dan kiai dalam pembelajaran Kitab kuning.[22]
E.     METODE PENULISAN
1.      Jenis Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan adalah metode kualitatif. Penulis memakai pendekatan ini, karena penulisan ini bersifat “naturalistik” artinya penulisan ini terjadi secara alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya menekankan pada deskripsi secara alami.[23]
Adapun jenis dan pelaksanaannya menggunakan tekhnik “studi kasus”. Penulisan kasus atau teknik studi kasus adalah suatu penulisan yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendetail terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu[24]. Karena sifat yang mendalam dan mendetail tersebut, studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang ‘longitudinal’ yakni hasil pengumpulan dan analisa data kasus dalam satu jangka waktu.
2.      Prosedur Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah :
a.       Metode Dokumentasi
Yang dimaksud dengan metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.[25] Metode ini dipergunakan untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya, keadaan, sarana dan prasarananya.
b.      Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.[26] Metode ini penulis gunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada hubungannya dengan jenis data yang penulis perlukan.
c.       Pengamatan Berperanserta
Pengamatan berperanserta menceritakan pada penulis apa yang dilakukan oleh orang-orang dalam situasi di saat penulis memperoleh kesempatan mengadakan pengamatan. Bogdan dalam Moleong mendefinisikan bahwasanya, pengamatan berperanserta sebagai penulisan yang bercirikan interaksi sosial, yang memakan waktu cukup lama antara penulis dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan.[27] Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperanserta dan yang tidak berperanserta. Pada pengamatan tanpa peranserta pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan.
Pengamatan berperanserta melakukan dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamatinya.[28] Dalam hal ini penulis adalah pengamat sebagai pemeranserta, yang mana peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum bahkan mungkin ia atau mereka disponsori oleh para subjek. Karena itu maka segala macam informasi termasuk rahasia sekalipun dapat dengan mudah diperoleh oleh penulis.
3.      Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[29] Pengelolaan data atau analisis data merupakan tahap yang penting dan menentukan. Karena pada tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang diinginkan dalam penulisan.
Dalam menganalisis data ini, penulis menggunakan tekhnik analisis deskriptif kualitatif, dimana tekhnik ini penulis gunakan untuk menggambarkan, menuturkan, melukiskan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang telah penulis peroleh dari hasil metode pengumpulan data. Menurut Seiddel proses analisis data kualitatif adalah sebagai berikut :
a.       Mencatat sesuatu yang dihasilkan dari catatan lapangan, kemudian diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b.      Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
c.       Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.[30]
Adapun langkah yang digunakan penulis dalam menganalisa data yang telah diperoleh dari berbagai sumber tidak jauh beda dengan langkah-langkah analisa data di atas, yaitu:
a.       Mencatat dan menelaah seluruh hasil data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, observasi dan dokumentasi.
b.      Mengumpulkan, memilah-milah, mensistesiskan, membuat ikhtisar dan mengklasifikasikan data sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah.
Dari data yang telah dikategorikan tersebut, kemudian penulis berpikir untuk mencari makna, hubungan-hubungan, dan membuat temuantemuan umum terkait dengan rumusan masalah. Dalam menganalisis data, penulis juga harus menguji keabsahan data agar memperoleh data yang valid. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam penulisan ini digunakan lima teknik pengecekan dari sembilan teknik yang dikemukakan oleh Moleong. “Kelima teknik tersebut adalah Observasi yang dilakukan secara terus menerus (persistent observation), Trianggulasi (trianggulation) sumber data, metode, dan penulisan lain, Pengecekan anggota (member check), 4) Diskusi teman sejawat (reviewing) dan Pengecekan mengenai ketercukupan refrensi (referential adequacy check)”.[31]
Penjelasan secara rinci adalah sebagai berikut:
a.       Observasi secara terus menerus
Langkah ini dilakukan dengan mengadakan observasi secara terus menerus terhadap subyek yang diteliti, guna memahami gejala lebih mendalam, sehingga dapat mengetahui aspek-aspek yang penting sesuai dengan fokus penulisan.
b.      Trianggulasi
Yang dimaksud trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu, tekniknya dengan pemeriksaan sumber lainnya.[32] Hamidi menjelaskan “teknik trianggulasi ada lima, yaitu: pertama Trianggulasi metode, kedua Trianggulasi penulis, ketiga Trianggulasi sumber, keempat Trianggulasi situasi, dan kelima Trianggulasi teori.
c.       Pengecekan anggota
Langkah ini dilakukan dengan melibatkan informan untuk mereview data, untuk mengkonfirmasikan antara data hasil interpretasi penulis dengan pandangan subyek yang diteliti. Dalam member check ini tidak diberlakukan kepada semua informan, melainkan hanya kepada mereka yang dianggap mewakili.
d.      Diskusi teman sejawat
Dilaksanakan dengan mendiskusikan data yang telah terkumpul dengan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang relevan, seperti pada dosen pembimbing, pakar penulisan atau pihak yang dianggap kompeten dalam konteks penulisan, termasuk juga teman sejawat.
e.       Ketercukupan refrensi
Untuk memudahkan upaya pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan penulisan dengan data yang diperoleh dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan penyimpanan data dan informasi terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan penyimpanan terhadap metode yang digunakan untuk menghimpun dan menganalisis data selama penulisan.


DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Dawam Rahardjo, M. 1985. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Dawam Rahardjo, M. 1985. Pergulataan Dunia Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung : Mizan.

Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS.
Aqiel Siradj, Sa’id, dkk. 2004. Pesantren Masa Depan. Cirebon: Pustaka Hidayah.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan., Bandung: Rosdakarya.
Suharsimi, Prof. Dr. Arikunto. 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta: Jakarta.

Lexy J, Moeloeng. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif  Jakarta: Rineka Cipta.



[1]  Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Ciputat, 2002, hal.26.
[2] Kiai adalah sebuah gelar untuk menunjuk para ulama’ dari kelompok islam tradisional. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1994, hal.55).
[3] Menurut M.Habib Chirzin, ustadz adalah pembantu kiai yang disebut badal (pengganti) atau qari’ (pembaca) yang terdiri dari santri senior. (M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1985, hal.88).
[4]  Sorogan berasal dari kata sorog yang berarti mengajukan, seorang santri menyodorkan kepada   kiai atau ustdz, kemudian diberikan tuntunan cara membaca, menghafal dan menerjemahkannya (M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, P3M, Jakarta, 1985, hal.118.)
[5] Bandongan adalah mengikuti dan memperhatikan apa yang dibacakan, diartikan dan dijelaskan oleh kiai atau ustdz (Ibid, hal.118.)
[6] Martin Van Bruinessen, Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan,  Bandung, 1995, hal.17.
[7] “Observasi pada tanggal 27 maret 2013”.
[8] M. Dawam Rahardjo, Op.Cit,. hal.55.
[9] Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal.36.
[10] Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Cirebon, 2004, 222.
[11] Ibid, hal.335.
[12] Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hal.68-70.
[13] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Trigenda Karya, Bandung, 1993, hal.300.
[14] Menurut Mujamil Qamar (Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta:LKiS, 1994. hal.264).
[15] Armai Arief, Op.Cit,. hal. 12.
[16] Menurut Husein Haikal (M. Dawam Rahardjo, Op. Cip., hal.25).
[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995,  hal.652.
[18] Sa’id Aqiel Siradj, dkk, Op. Cit., hal. 280.
[19] Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., hal.55.
[20] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung:Rosdakarya, 2004, hal.223.
[21] Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit, hal.51.
[22] M.Dawam Rahardjo, Op. Cit., hlm.56.
[23] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penulisan, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm.12.
[24] Ibid,hal. 120.
[25] Ibid, hal.236.
[26] Ibid, hal.133.
[27] Moeloeng, lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif , Rineka Cipta, Jakarta, 2004.,hal. 124.
[28] Ibid, hal.126.
[29] Ibid, hal.103.
[30] Ibid, hal.248.
[31] Ibid, hal.175-181.
[32] Ibid, hal. 178. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar