Rabu, 24 November 2010

MAKALAH HADITS


BAB I
PENDAHULUAN
A      LATAR BELAKANG
Dengan adanya ilmu hadits, menuntut kita untuk mengkaji secara jeli dan tepat dalam menggali secara dalam tentang riba dan suap guna menghindari dalam kehidupan sehari-hari, agar dalam menjalani hidup tidak melanggar ketentuan ajaran islam.
Oleh kerena itu dengan hadirnya makalah yanag kami susun, ini diharapkan para pembaca dapat memahami lebih jauh tentang riba dan suap.
B       RUMUSAN MASALAH
A.    Hadits Nabi Tentang Suap.
B.     Hadits Nabi Tentang Riba.
C      TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud dan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mempermudah memahami hadits Nabi dalam amalan manusia, dalam situasi dan kondisi tertentu. Artinya kita sebagai umat muslim harus mengetahui hukum riba dan suap dalam islam.





AB IIB
HADITS NABI TENTANG
SUAP DAN RIBA
A.    Hadits Tentang Suap
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ فِى الْحُكْمِ
 (رواه أحمد والأربعة وحسّنه الترميذى وصحّحه ابن حبان)
“Abu Hurairah ra. Berkata, “Rasulullah saw. Melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum.”(H.R. Ahmad dan Imam yang empat dan dihasankan oleh Turmudzi dan disahihkan oleh Ibnu Hibban)
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.
Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah swt. Berfirman dalam al-Quran:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiBÉAºuqøBr& Ä¨$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah : 188)
Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di masyarkat, dan menyebabkan terjaninya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justeru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya, banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan oleh seorang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadits lainnya, suap-menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum, seperti dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ (رواه الترميذى)
 “Dari Abdillah bin Umar, “Rasulullah saw. melaknat penyuap dan orang yang disuap.” (HR. Turmudzi)
Dalam Islam suap menyuap termasuk pelanggaran berat,s ehingga Rasulullah saw. pun telah melaknat para pelaku suap, baik penyuap maupun orang yang disuap, terutama dalam urusan hukum. Selain dalam masalah hukum, dalam urusan-urusan lain pun, suap-menyuap tetap tidak diperbolehkan dalam Islam.
B.     Hadits Tentang Riba
Riba menurut bahasa artinya lebih atau bertambah. Adapun pengertian menurut syara' riba adalah nilai tambah yang diharamkan dalam masalah pinjam-meminjam atau hutang piutang, karena melanggar aturan pinjam meminjam/ hutang piutang yang diizinkan.
1.      Macam – Macam Riba
a.          Hadits tentang riba Fadli, yaitu dengan sebab tukar-menukar barang sejenis dengan jumlah yang berbeda, seperti menjual emas dengan emas, gandum dengan gandum, beras dengan beras, yang kulitnya sama tetapi kuantitasnya berbeda.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَتَبِيْعُوْا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مَثَلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوْا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مَثَلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوْا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
 (متفق عليه)
“Dari Abi Sa’id al-Khudry, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda. ‘Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atau sebagiannya, dan janganlah kamu jual uang perak dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama, dan janganlah kamu sebagian atas sebahagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata dengan barang yang abstrak.” (Sepakat Ahli Hadits)
b.         Tentang riba Nasi’ah, yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berutang, disebabkan mempertimbangkan waktu pembayaran yang ditangguhkan. Misalnya jual beli kredit dengan cara menetapkan adanya dua macam harga bila dibeli dengan secara kontan. Sabda Rasulullah saw.
عَنْ سَمُرَةَ ابْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً رواه الترميذى)
“Dari Samurah ibn Jundub, sesungguhnya Nabi saw. telah melarang menjual binatang dengan binatang secara ditangguhkan.” (HR. Turmudzi)
c.          Tentang riba Qardli, yaitu pinjam-meminjam atau berhutang-piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berhutang, seperti meminjam uang dengan dikenakan bunga yang tinggi.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا (أخرجه البيهقى)
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (bagi pemberi pinjaman) adalah satu bentuk dari beberapa bentuk riba.”















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
  1. Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu,Berpuasalah maka kamu sekalian sehat.
  2. Riba menurut bahasa artinya lebih atau bertambah. Adapun pengertian menurut syara' riba adalah nilai tambah yang diharamkan dalam masalah pinjam-meminjam atau hutang piutang, karena melanggar aturan pinjam meminjam/ hutang piutang yang diizinkan.
B.     SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari semua mahasiswa dan dosen yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan ilmu hadits demi terwujudnya implimentasi dalam kehidupan sehari-hari.






DAFTAR PUSTAKA
·         Boukhari, Imam. 1993. Shahih Al-Boukhari. Beirut, Lebanon: Dar El-Fikr..
·         Ghazali, Imam. 1982. Ihya 'Ulumuddin. New DelhiIndia: Kitab Bavan.
·         BeirutLebanon: Dar El-Fikr.
·         Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-Iman, Abu Dawud dalam kitab awwal kitab al-sunnah, dan Imam dalam Musnad Umar bin al-Khattab.
·         Muhammad bin Ismailm al-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV, (Cet. IV; Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1379 H.).

Jumat, 10 September 2010

MAKALAH MSI


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
sejarah secara etimologi dapat diungkapkan dalam bahasa Arab yaitu Tarikh, sirah atau ilmu tarikh, yang maknanya ketentuan masa atau waktu, sedang ilmu tarikh berarti ilmu yang mengandung atau yang membahas penyebutan peristiwa dan sebab-sebab terjadinya peristiwa terjadi pada masa klasik, pertengahan sampai pada masa modern.
            Adapun secara terminologi berarti sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi di masa lampau dan benar-benar terjadi pada diri individu dan masyarakat sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.
Rumusan Masalah.
1.      Perkembangan pada zaman klasik (dahulu) (650-1250 m)
2.      Perkembangan pada zaman pertengahan (1250-1800 m)
3.      Perkembangan pada zaman modern (sekarang) (1800 m)
4.      Ruang lingkup sejarah pendidikan islam
Maksud dari pertumbuhan dan perkembangan study islam supaya kita mengetahui sejrah perkembangan dan pertumbuhan dari zaman klasik, pertengahan sampai zaman modern.
BAB II
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN STUDI ISLAM PADA MASA DAHULU SAMPAI DENGAN MASA MODERN
A.     PERKEMBANGAN PADA ZAMAN KLASIK (DAHULU) (650-1250 M)
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab, Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam . oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.
  1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
  2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
  3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik
  4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syrik
  5. Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
  6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
  7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
  8. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran.
B.  PERKEMBANGAN PADA ZAMAN PERTENGAHAN (1250-1800 M)
Sebenarnya pembaruan dan perkembangan ilmu pengetahuan telah dimulai sjak periode pertengahan, terutama pada masa kerajaan usmani. Pada abad ke-17, mulai terjadi kemunduran khusunya ditandai oleh kekalahan-kekalahan yang dialami melalui peperangan melawan negara-negara Eropa. Peristiwa tersebut diawali dengan terpukul mundurnya tentara usmani ketika dikirm untuk menguasai wina pada tahun 1683. kerajaan usmani menyerahkan Hungaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia, dan Azov kepada Rusia dengan perjanjian Carlowiz yang ditandatangani tahun 1699
Kaum muslim memiliki banyak sekali tokoh – tokoh pembaruan yang pokok – pokok pemikirannya maupun jasa-jasanya di berbagai bidang telah memberikan sumbangsih bagi uamt Islam di dunia. Beberapa tokoh yang terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan atau pemikiran Islam tersebut antara lain sebagai berikut.
1)      Jamaludin Al Afgani (Iran 1838 – Turki 1897)
2)      Muhammad Abduh (mesir 1849-1905) dan Muhammad Rasyd Rida (Suriah 1865-1935)
3)      Toha Husein (Mesir Selatan 1889-1973)
4)      Sayid Qutub (Mesir 1906-1966) dan Yusuf Al Qardawi.
5)      Sir Sayid Ahmad Khan (india 1817-1898)
6)      Sir Muhammad Iqbal (Punjab 1873-1938)
C.  PERKEMBANGAN PADA ZAMAN MODERN (SEKARANG) (1800 M)
Pendidikan islam zaman modern merupakan warisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran islam dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut islam. Munculnya ilmu pendidikan telah memotivasi umat islam untuk menelusuri perjalanan sejarah pendidikan islam. Teori-teori yang berkaitan dalam dunia pendidikan besar gunanya dalam mengumpulkan fakta-fakta sejarah yang selanjutnya menempatkan fakta-fakta tersebut dalam konteks sejarahnya dengan demikian pembahasan sejarah pendidikan tidak sekedar menempatkan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan perkembangan dan perjalanan pendidikan islam sesuai dengan urutan-urutan peristiwa. Lebih dari itu sejarah pendidikan islam menuntut pengungkapan realitas sosial muslim untuk menjawab suatu peristiwa yang terjadi.
Derat kaitannya dengan
1.            Sosiologi
2.   Ilmu Sejarah
3.   Sejarah Kebudayaan
D.     Ruang Lingkup Sejarah Pendidikan Islam
1.            Obyek
2.            Metode
a)      metode deskriptif,.
b)      Metode komparatif
c)      Metode analisis sinsesis metode yang dapat dipakai antaranya:
ü  Metode Lisan
ü  Metode Observasi
ü  Metode Documenter





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang kami paparkan sebelumnya kami dapat memetik beberapa kesimpulan sbb :
ü  Pada masa klasik terjadi ketika suatu aliran yang bernama Wahabiyah Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
ü  Pada masa pertengahan terutama pada masa kerajaan usmani. Pada abad ke-17, mulai terjadi kemunduran khusunya ditandai oleh kekalahan-kekalahan yang dialami melalui peperangan melawan negara-negara Eropa.
ü  Pada masa modern Pendidikan islam zaman modern merupakan warisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran islam dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut islam.
ü  Ruang Lingkup Sejarah Pendidikan Islam
B.     Saran
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami buat inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. oleh karena itu kami mengharapkan saran dari teman-teman yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

 Lings, Martin. Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Penerbit Serambi, 2002. ISBN 979-3335-16-5
Subhani, Ja’far. Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW. Jakarta: Penerbit Lentera, 2002. ISBN 979-8880-13-7
Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hâsyim bin ‘Abd al-Manâf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b

Sabtu, 07 Agustus 2010

MAKALAH FILSAFAT ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu bidang yang patut dikembangkan. Hal ini terbukti dari Thales hingga sekarang, ilmu pengetahuan terus berkembang dan saling melengkapi pemikiran-pemikiran para ilmuwan. Dengan ilmu pengetahuan manusia telah mengubah diri mereka menjadi makhluk yang paling mulia di dunia ini. Dan dengan ilmu pengetahuan pula Tuhan yakin manusia dapat menjaga alam ini dengan baik, sehingga mereka mendapat julukan Khalifatullah fi al-ardh. Akan tetapi pada zaman sekarang ini ilmu pengetahuan telah disalahgunakan, banyak ilmuwan yang tidak memikirkan kemaslahatan alam ini. Kalau kita tinjau lebih dalam lagi ilmuwan pada zaman sekarang penelitiannya tidak langsung terjun ke lapangan akan tetapi lebih banyak dilakukan dalam ruangan ber-AC dengan fasilitas internet mereka menjelajahi dunia maya tanpa tahu dunia sesungguhnya. Sungguh ironis sekali kalau semua ilmuwan seperti ini aktivitas penelitiannya.
Kami merasa mungkin dengan mengkaji kehidupan para tokoh ilmuwan klasik akan dapat membantu semangat para ilmuwan sekarang untuk dapat melakukan penelitian yang sesungguhnya. Penelitian sesungguhnya di sini adalah penelitian yang langsung terjun ke lapangan. Ilmu pengetahuan telah berkembang dari masa ke masa dan telah melahirkan beberapa tokoh ilmuwan yang patut dikaji pemikirannya. Salah satu tokoh ilmuwan itu adalah al-Farabi, ilmuwan Islam yang telah banyak menyumbangkan pemikirannya untuk kemaslahatan alam ini. Dan kami di sini akan mencoba menguraikan konsep pemikiran beliau dalam hal ilmu pengetahuan.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi. Ayahnya adalah seorang jenderal yang memiliki posisi penting di Parsi. Disebut Farabi karena kelahirannya di Farab yang juga disebut Kampung Utrar. Dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan dalam daerah Turkestan, Rusia.
Abu Nashr al-Farabi lahir pada tahun 258 H/870 M dan wafat pada tahun 339 H/950 M. Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/19 M, telah dilakukan banyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam karyanya.
Berbeda dengan kelaziman beberapa sarjana muslim lainnya, al-Farabi tidak menuliskan riwayat hidupnya dan tak seorang pun di antara para pengikutnya merekam kehidupannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh al-Juzjani untuk gurunya, Ibnu Sina. Oleh karena itu, mengenai kehidupan al-Farabi masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan. Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama bermula sejak lahir, masa kanak-kanaknya, masa remajanya sampai ia berusia lima puluh tahun. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadits dan tafsir al-Qur’an serta ia juga mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki, dan Parsi. Ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat meskipun tampaknya ia tidak berpaling kepada keduanya samapi kemudian. Ketika ia demikian tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan tanah kelahirannya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode kedua kehidupan al-Farabi adalah periode usia tua dan penuh kematangan. Baghdad, sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika dan untuk beberapa lama ia belajar logika kepada Ibn Yunus. Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan lain di Aleppo. Di sana tempatnya orang-orang brilian, para sarjana, para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Al-Farabi tinggal di kota tersebut, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemercik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang. Al-Farabi mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutkan bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang erat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhshyidiyyah memang mempunyai pesona. Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.
Al-farabi senang terhadap ilmu pengetahuan, menganjurkan eksperimen, dan menolak peramalan dan astrologi. Ia mempercayai sepenuhnya sebab – akibat dan takdir, sehingga ia mengakui adanya sebab-sebab, meskipun terhadap efek-efek yang tak jelas sebabnya. Ia mengangkat akal ke tingkat yang sedemikian suci, sehingga ia terdorong untuk mendamaikannya dengan tradisi sehingga tercapai kesesuaian antara filsafat dan agama.
B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat.
Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika. Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, etapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi’li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect). Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal giat (aqlul-fa’al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) senantiasa mate_i_itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule.
C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.
Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik.
Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: “Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran”. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).
Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.
Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.
Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.
Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani. Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota.
Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam.
D. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk berusaha menjadi ilmuwan dalam bidang tertentu sejauh yang dapat mereka capai dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi mereka menemukan sejarah tokoh-tokoh agama, salah satunya adalah al-Farabi yang telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana manusia memperoleh keberkahan dan manfaat yang tak ternilai harganya.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”.
Wahyu pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah, “Bacalah dengan nama Allah”. Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca. Artinya pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, Ia juga berada pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah alim, yang berarti “Yang memiliki pengetahuan”. Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi yang beriman. Apabila orang-orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam keberadaan mereka sendiri, seperti dikatakan oleh sebuah hadis, maka menjadi suatu keharusan bagi semua orang yang percaya akan Allah sebagai sumber segala sesuatu yang ada, untuk mencari dan menyerap dalam wujud mereka sebanyak mungkin sifat-sifat Allah, termasuk dengan sendirinya pengetahuan, sehingga wawasan tentang Yang Kudus menjadi darah daging kehidupan mereka. Sudah jelas, bahwa tidak semua sifat Allah dapat diserap oleh manusia mengingat kodratnya yang tak terbatas dan tak terhingga, tapi setiap manusia pasti dapat memiliki sifat-sifat ilahi sebanyak yang diperlukan untuk pemenuhan dan perealisasian dirinya sendiri. Dan pengetahuanlah yang membedakan manusia dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui pengetahuanlah kita dapat mencapai kebenaran.


  




BAB III
KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad al-Farabi merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang banyak dikenal di dunia Barat dengan sebutan al-Parabius atau guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Banyak pemikiran-pemikiran al-Farabi yang diambil dari Aristoteles, akan tetapi al-Farabi tidak hanya menerima begitu saja. Beliau dalam menelaah pemikiran Aristoteles selalu dihubungkan dengan al-Qur’an dan Hadist. Seperti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa dunia ini kekal, tetapi menurut al-Farabi dunia ini tidak akan selamanya kekal. Karena al-Farabi masih mempercayai akan adanya hari kiamat, maka beliau berpendapat bahwa dunia ini tidak akan kekal selamanya. Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Al-Farabi juga berpendapat bahwa mempelajari ilmu pengetahuan itu wajib hukumnya. Akan tetapi Oalam perkembangannya kajian tentang ilmu pengetahuan dalam Islam semakin rendah, mereka lebih suka mengkaji ilmu fiqh dari pada ilmu pengetahuan. Pada hal semua ilmu pada hakikatnya itu sama kecuali ilmu-ilmu yang dilarang oleh Allah untuk dipelajari.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan, kami percaya bahwa makalah ini masih jauh dari harapan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman. Sebagai bahan acuan untuk memperbaiki sistematika dari makalah ini baik dari segi penulisannya, isinya, dan referensinya. Dan kami berharap semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Jalaluddin, Filsapat pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama,1997
Ø  Mudyhardjo, Redja. Filsapat Ilmu Pendidikan, Bandung : Rosdakarya ,2001
Ø  Ibrahim Madkur,Dr., Filsafat Islam Metode dan penerapan, terjemahan wahyudi dkk., Jakarta 1988.