BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan non-formal
yang tumbuh dan berkembang pesat, sekaligus memberikan andil yang sangat besar
terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, dari sebelum kemerdekaannya,
sampai sekarang ini masih dapat dilihat dimana-mana, khususnya di pedesaan,
karena memang cikal bakal tumbuhnya Pondok pesantren berada di tempat-tempat
yang tergolong primitif, walaupun sekarang ini sudah masuk keranah perkotaan.
Terlepas dari kesemunya itu, sebenarnya yang lebih
menarik diperhatikan adalah keadaan pondok pesantren tersebut, baik menyangkut
isi, kehidupan maupun sistem yang diterapkan sebagai jalan menuju perkembangan
atau setidaknya regenerasi penguasaan khazanah keilmuan, ilmu pengetahuan agama
islam pada khususnya.
Selanjutnya, faktor yang paling dominan dalam
perkembangan pendidikan di pondok pesantren adalah implementasi metode
pembelajarannya. Keberlangsungan pembelajaran akan baik, manakala kyai atau
ustadz memahami berbagai metode atau cara bagaimana materi itu
diinternalisasikan kepada santrinya. Metode ini sangat penting sekali,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Arief, bahwa dalam dunia proses belajar
mengajar, yang disingkat dengan PBM, dikenal dengan ungkapan “Metode jauh lebih baik daripada materi”.[1] Begitu pentingnya metode
pembelajaran, maka dari itulah ketika tidak adanya penguasaan metode, maka akan
mengakibatkan proses belajar mengajar tidak baik yang pada akhirnya materi
tersebut sulit diserap oleh peserta didik.
Begitu pula proses pembelajaran yang berlangsung di pondok
pesantren, seorang kyai[2] atau ustadz[3] dituntut untuk
menguasai metode pembelajaran yang tepat untuk santrinya, termasuk dalam metode
pembelajaran kitab yang dikenal tanpa harakat (kitab gundul). Metode
pembelajaran kitab yang biasa dipakai di pondok pesantren dari dulu sampai
sekarang adalah metode sorogan[4]
dan bandongan.[5]
Dari sekian banyak metode yang di terapkan di pondok pesantren, ternyata
sedikit atau bisa dikatakan tidak ada reaksi umpan balik dari pihak santri
dikarenakan figur seorang kyai atau ustadz yang harus selalu dihormati
dan dipatuhi, sehingga kita sering menemukan postulat “mendengarkan dan
mematuhi” yang masih dijadikan pegangan kuat oleh pondok pesantren, terutama di
pondok pesantren tradisional.
Selain itu, Bruinessen mengungkapkan adanya keyakinan
dari kyai, ustadz ataupun santri bahwa kitab kuning yang bisaanya berwarna
kuning merupakan teks klasik yang ada dan selalu diberikan di pesantren sebagai
Alkutub mu’tabarah, yaitu suatu ilmu yang dianggap sudah bulat, tidak
bisa diubah-ubah, hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali manakala kyai
atau ustadz menghendaki.[6]
Begitupun proses pembelajaran di Pondok Pesantren
Qamarul Huda Bagu, peneliti mengamati terdapat kesenjangan-kesenjangan,
kesenjangan yang dimaksud meliputi implementasi metode pembelajaran kitab
kuning, dalam observasi peneliti, menemukan mayoritas santri hanya berperan
pasif, dalam artian selama proses pembelajaran kitab, mereka tidak banyak
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan ataupun komentar seputar kitab yang
dipelajarinya.
Tidak diketahui, apakah mereka diam karena mereka sudah
paham, ataukah ada sebab-sebab yang lain. Sikap pasif itu juga kebanyakan
mereka tunjukkan di lingkungan luar pesantren, bagi santri yang bersekolah di
lembaga pendidikan formal, hampir sama dengan ketika mereka berada dalam
lingkungan pondok pesantren. Selain itu, peneliti melihat materi atau pelajaran
kitab kuning yang disampaikan oleh kyai atau ustadz, masih kurang menyentuh
pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagian santri. Hal ini
diketahui dari pola pikir dan tingkah laku mereka sehari-hari, baik itu
dilingkungan pondok pesantren maupun diluar, namun disisi lain juga peneliti
mengamati bahwa adanya nilai positif yang terpendam di dalamnya, yaitu proses
pembelajaran kitab kuning mampu menyelesaikannya dalam waktu yang singkat dan
dapat mengajarkan santri lebih banyak.[7] Keadaan inilah yang
mendorong peneliti untuk mencari akar penyebab terjadinya
kesenjangan-kesenjangan tersebut.
Ketidak adanya feedback antara
kyai atau ustdz terhadap santrinya, akan bisa menimbulkan efek negatif ketika
santrinya memanifestasikan isi ajaran kitab tersebut kedalam kehidupan
sehari-hari, padahal mengingat pentingnya pemahaman terhadap
ajaran-ajaran yang ada dalam kitab itu dan apabila pemahaman para santri
terhadap isi atau ajaran kitab salah, maka dalam pensosialisasian ajaran dari
kitab tersebut di tengah-tengah masyarakat akan berakibat fatal/kurang baik.
Oleh sebab itulah, peneliti mengangkat penelitian ini
dengan judul “Implementasi Metode Pembelajaran Kitab kuning di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu Pringgrata Lombok Tengah”.
B.
Fokus
Penelitian
Penelitian ini terfokus pada Implementasi Metode Pembelajaran
Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, di dalamnya membahas
tentang kyai, santri, faktor pendukung dan penghambat implementasi metode
tersebut, serta upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan dan
memenuhi faktor pendukungnya.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas
maka yang menjadi Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda
Bagu?
2. Apa
yang menjadi faktor penghambat dan pendukung dalam Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu?
3.
Upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi
hambatan-hambatan dan memenuhi dukungan dalam Implementasi Metode Pembelajaran
Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu?
D.
Tujuan
Penelitian
Merumuskan tujuan penelitian adalah hal yang sangat
penting untuk meluruskan jalannya penelitian pada sasaran yang ingin dicapai
setelah melakukan penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah:
1. Menggambarkan
Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda
Bagu Lombok Tengah.
2.
Mendeskripsikan faktor penghambat dan Pendukung
Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda
Bagu.
3. Menjelaskan
upaya yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah
dalam Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang
dapat diambil dari penelitian ini yaitu terdiri dari manfaat teoritis, praktis
dan akademis.
1.
Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan
menjadi refleksi terhadap pembelajaran kitab kuning, umumnya diseluruh pondok
pesantren, Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu pada khususnya dan juga lembaga
pendidikan di Indonesia.
2.
Manfaat
praktis
Diharapkan secara praktis hasil penelitian ini
dapat di pakai sebagai bahan pembelajaran, rujukan bagi kyai dan ustadz dalam
meningkatkan kemampuan pemahaman isi kitab kuning yang tidak hanya monoton
dalam pelaksanaan metede pembelajarannya, sehinggga santri mampu dan berani
mengubah dari pasif menjadi aktif dalam menerima materi kitab kuning. Dan
yang selanjutnya memberikan rangsangan pada peneliti lainnya untuk dapat
digunakan sebagai pedoman pada penelitian-penelitian mengenai pondok pesantren.
3. Manfaat
akademis
Untuk memperoleh gelar
akademis Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) di Institut Agama Islam Qamarul Huda
Bagu Pringgarata Lombok Tengah Tahun Akademis 2012/2013
F.
Penegasan
Istilah
Untuk
menghindari adanya kesalahan pengertian mengenai istilah-istilah yang di
pergunakan dalam proposal ini, maka peneliti menegaskan istilah-istilahnya
sebagai berikut:
1. Implementasi
adalah pelaksanaan, penerapan.[8]
2. Metode
adalah cara yang telah diatur dan difikir baik-baik.[9]
3. Pembelajaran
adalah hubungan interaksi antara pendidik, peserta didik dan materi pelajaran
dalam menuju suatu tujuan.[10]
4. Kitab
kuning adalah kitab-kitab keagamaan yang berbahasa Arab, sebagai produk
pemikiran ulama-ulama as-salaf atau ditulis oleh ulama-ulama “asing”.[11]
5. Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang dilaksanakan dengan sistem
asrama (pondok), terdapat kyai, santri dan sebuah surau (masjid) yang lokasi
umumnya terpisah dari kehidupannya.[12]
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Dasar Kitab Kuning
1. Pengertian Kitab Kuning
Dalam dunia pesantren
asal-usul penyebutan atau istilah dari kitab kuning belum diketahui secara
pasti. Penyebutan ini didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda,
diantaranya dinyatakan oleh Masdar F. Mas’udi “kemungkinan besar sebutan itu
datang dari pihak orang luar dengan konotasi yang sedikit mengejek. Terlepas
dengan maksud apa dan oleh siapa dicetuskan, istilah itu kini telah semakin
memasyarakat baik diluar maupun di
lingkungan pesantren.”[13]
Akan tetapi sebenarnya,
penyebutan kitab kuning dikarenakan kitab ini dicetak di atas kertas yang
berwarna kuning dan umumnya berkualitas murah. Akan tetapi argumen ini
menimbulkan kontroversi, karena saat ini, seiring dengan kemajuan tekhnologi,
kitab-kitab itu tidak lagi dicetak di atas kertas kuning akan tetapi sebagian
kitab telah dicetak di atas kertas putih, dan tentunya tanpa mengurangi esensi
dari kitab itu sendiri.
Dikalangan pondok pesantren
sendiri, di samping istilah “kitab kuning”, terdapat juga istilah “kitab
klasik” (Al-kutub Al-qadimah), karena kitab yang ditulis merujuk pada
karya-karya tradisional ulama berbahasa Arab yang gaya dan bentuknya berbeda
dengan buku modern.[14] Dan karena rentang
kemunculannya sangat panjang, maka kitab ini juga disebut dengan “kitab kuno”.
Bahkan kitab ini, di kalangan pondok pesantren juga kerap disebut dengan “kitab
gundul”. Disebut demikian karena teks di dalamnya tidak memakai syakl (harakat)[15], bahkan juga tidak
disertai dengan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda tanya, dan
lain sebagainya. Untuk memahami kitab kuning (kitab gundul), maka dari itu di pondok
pesantren telah ada ilmu yang dipelajari santri yaitu ilmu alat atau nahwu dan
sharf.
Adapun pengertian umum yang
beredar di kalangan pemerhati masalah pondok pesantren adalah bahwa kitab
kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan yang berbahasa arab, atau
berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (as-salaf)
yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Dalam
rumusan yang lebih rinci, definisi dari kitab kuning: pertama ditulis
oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang
dipedomani oleh para ulama Indonesia, kedua ditulis oleh ulama Indonesia
sebagai karya tulis yang “independen”, dan ketiga ditulis oleh ulama
Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.[16]
Jadi peneliti mengambil
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan kitab kuning adalah kitab yang berbahasa
arab tanpa disertai tanda baca, yang berisi tentang ilmu pengetahuan agama
islam yang di produk oleh ulama-ulama masa lampau.
2. Jenis-Jenis
Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Jenis-jenis kitab kuning
yang digunakan dalam lingkungan pondok pesantren sangat banyak sekali jenisnya,
namun peneliti mengklarifikasikan jenis-jenis tersebut dengan mengambil
pendapat yang sering digunakan oleh para pemerhatinya.
Kitab kuning
diklasifikasikan ke dalam empat kategori yaitu dilihat dari kandungan maknanya,
dilihat dari kadar penyajiannya, dilihat dari kreatifitas penulisannya, dan
dilihat dari penampilan uraiannya.[17]
a. Dilihat
dari kandungan maknanya
Kitab kuning dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: kitab yang berbentuk penawaran atau
penyajian ilmu secara polos (naratif) seperti sejarah, hadits, dan tafsir, dan
kitab yang menyajikan materi yang berbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti
nahwu, ushul fikih, dan mushthalah Al-hadits (istilah-istilah yang
berkenaan dengan hadits).
b. Dilihat
dari kadar penyajiannya
Kitab kuning dapat dibagi
tiga macam, yaitu mukhtashar, yaitu kitab yang tersusun secara ringkas dan
menyajikan pokok-pokok masalah, baik yang muncul dalam bentuk nadzam atau syair
(puisi) maupun dalam bentuk nasr (prosa),. syarah, yaitu kitab yang
memberikan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara
komparatif, dan banyak mengutip ulasan para ulama dengan argumentasi
masing-masing, dan kitab kuning yang penyajian materinya tidak terlalu ringkas,
tapi juga tidak terlalu panjang (mutawasithah).
c. Dilihat
dari kreatifitas penulisannya
Kitab kuning dapat
dikelompokkan menjadi tujuh macam, yaitu: 1) kitab yang menampilkan
gagasan-gagasan baru, 2) kitab yang muncul sebagai penyempurnaan terhadap karya
yang telah ada, 3) kitab yang berisi komentar (syarah) terhadap kitab yang
telah ada, 4) kitab yang meringkas karya yang panjang lebar, 5) kitab
yang berupa kutipan dari berbagai kitab lain, 6) kitab yang memperbaharui
sistematika kitab-kitab yang telah ada, dan 7) kitab yang berisi kritikan.
d. Dilihat
dari penampilan uraiannya
Kitab kuning memiliki lima
dasar penampilan, yaitu: 1) mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi
khusus, sesuatu yang ringkas menjadi terperinci, dan seterusnya, 2) menyajikan
redaksi yang teratur dengan penampilkan
beberapa pernyataan dan kemudian menyusun kesimpulan, 3) membuat ulasan
tertentu ketika mengulangi uraian yang dianggap perlu, sehingga penampilan
materinya tidak semrawut dan pola pikirnya dapat lurus, 4) memberikan
batasan-batasan jelas ketika penulisnya menurunkan sebuah definisi, dan 5)
menampilkan beberapa ulasan dan argumentasi terhadap pernyataan yang dianggap
perlu.
Adapun rincian kitab-kitab
yang menjadi konsentrasi keilmuan pesantren:[18]
a. Cabang
ilmu fiqh:
1) Safinatu-l-Shalah
2) Safinatu-l-Najah
3) Fath-l-Qarib
4) Fath-l-Mu’in
5) Minhaju-l-Qawim
6) Muthmainnah
7) Al-iqna’
8) Fath-l-Wahhab
b. Cabang
ilmu tauhid:
1) Aqidatu-l-Awam
(Nadzham)
2) Bad’u-l-‘Amal
(Nazham)
3) Sanusiyah
c. Cabang
ilmu tasawuf:
1) Al-Nashaihu-l-Diniyah
2) Irsyadu-l-Ibad
3) Tanbihu-l-Ghafilin
4) Minhaju-l-‘Abidin
5) Al-Da’watu-l-Taammah
6) Al-hikam
7) Al-Mu’awanah
Wal Munazharah
8) Bidayatu-l-Hidayah
d. Cabang
ilmu nahwu-sharaf:
1) Al-Maqshud
(Nazham)
2) Awamil
(nazham)
3) Ajurumiyah
4) Kaylani
5) Mirhatu-l-i’rab
6) Alfiyah
(nazham)
7) Ibnu
Aqil.
Martin Van Bruinessen
memerinci kekayaan khazanah kitab-kitab klasik yang dipelajari di pondok
pesantren. Sesuai dengan kategori keilmuan di atas Dalam lmu fiqh dipelajari kitab-kitab sebagai
berikut: fath-l-mu’in, I’anatu-lthalibin, taqrib, fathu-l-qarib,
kifayatu-l-akhyar, bajuri, minhaju-l-thullab, minhaju-l-thalibin,
fathu-l-wahhab, minhaju-l-qawim, safinat, kasyifatu-lsaja, sullamu-l-munajat,
uqud-l-lujjain, sittin, muhadzab, bughyatu-lmustarsyidin, mabadi fiqhiyyah, dan
fiqhu-l-wadhih.
Untuk kelengkapan ilmu fiqh
bisaanya juga dikenal ilmu ushul fiqh yang mempelajari kitab-kitab, seperti: lathaif-l-isyarat, jam’u-l-jawami’, luma,
Al-asybah wa Al-nadlair, bayan, dan bidayat-l-mujtahid.
Dalam ilmu sharf, yaitu: kaylani, maqshud, amtsilatu-l-tashrifiyyat,
dan bina. Dalam ilmu nahwu: imrithi,
ajurumiyah, mutammimah, asymawi, alfiyah, ibnu aqil, dahlan alfiyah,
qathru-l-nada, awamil, qawa’idu-l-I’rab, nahwu-lwadhih, dan qawa’idu-l-lughat.
Sedangkan dalam ilmu balaghah:
jauharu-l-maknun, uqudu-l-juman, dan
lain sebagainya. Dalam bidang tauhid: ummu-l-barahin,
sanusiyah, dasuqi, syarqawi, aqidatu-l-‘awamtijanu-l-dharari, ‘aqidatu-l-‘awam,
nuru-l-zhulam, jauharu-l-tauhid, tuhfatu-l-murid, fathu-l-majid,
jawahiru-l-kalamiyah, usnul-hamidiyah,
dan ‘aqidatu-l-islamiyat.
Dalam ilmu tafsir secara
umum digunakan kitab tafsir-l-Jalalain, selain itu juga terdapat
kitab-kitab yang lainnya: tafsiru-l-munir, tafsir ibn katsir, tafsir
baidlawi, jami’u-l-bayan, maraghi, dan tafsir-l-manar. Selanjutnya dapat
ditemui kitab-kitab hadits antara lain: bulughu-lmaram, subulu-l-salam,
riyadhu-l-shalihin, shahih bukhari, tajridu-l-sharih, jawahiru-l-bukhori,
shahih muslim, arba’in nawawi, majalishu-l-saniyat, durratun nashihin, dan
lain-lain.[19]
Jadi peneliti dapat
mengambil benang merah bahwa, jenis-jenis kitab kuning yang sering digunakan
oleh pondok pesantren mencakup kategori tingkat pembelajaran kitab sedang,
menengah dan besar.
3. Ciri-Ciri
Kitab Kuning
Penjabaran mengenai
ciri-ciri kitab kuning sangatlah penting disentuh oleh peneliti, dikarenakan
banyak sekali yang salah memahaminya, ada juga yang kebingungan, seperti apakah
kitab kuning tersebut, bagaimanakah bentuk dan lainnya. Disini peneliti
memberikan pemaparan melalui pendapat oleh para pakar dibidang pendidikan pondok
pesantren. Muhaimin merincikan ciri-ciri kitab kuning dengan mengatakan bahwa
ada 6 ciri kitab kuning tersebut:
“ciri-ciri
kitab kuning adalah 1) kitab-kitabnya menggunakan bahasa Arab, 2) umumnya tidak
memakai syakal (tanda baca atau baris), bahkan tanpa memakai titik,
koma, 3) berisi keilmuan yang cukup berbobot, 4) metode penulisannya dianggap
kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis, 5)
lazimnya dikaji dan dipelajari di Pondok Pesantren, dan 6) banyak diantara
kertasnya berwarna kuning”.[20]
Yang lain juga diungkapkan
oleh Mujamil, yaitu:
“pertama,
penyusunannya dari yang lebih besar terinci ke yang lebih kecil seperti kitabun,
babun, fashlun, farun, dan seterusnya. Kedua, tidak menggunakan tanda baca
yang lazim, tidak memakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain
sebagainya. Ketiga, selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu
seperti untuk menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah Al-madzhab,
Al-ashlah, as-shalih, Al-arjah, Al-rajih, dan seterusnya, untuyk menyatakan
kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan istilah ijmaan, sedang
untuk menyatakan kesepakatan antar ulama dalam satu madzhab digunakan istilah ittifaaqan”.[21]
Secara umum, Affandi
mengemukakan spesifikasi kitab kuning terletak dalam formatnya (lay out),
yang terdiri dari dua bagian, yaitu matan, teks asal (inti) dan syarah (komentar,
teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu
diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah,
karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan,
maka diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. ukuran
panjang-lebar kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm
(kwarto). Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total,
yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman
(misalnya, setiap 20 halaman) yang secara tekhnis dikenal dengan istilah korasan.
Jadi dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan
salah satu atau beberapa korasan dibawa secara terpisah.[22]
Dari pendapat diatas,
peneliti dapat menyimpulkan ciri-ciri kitab kuning tersebut ke dalam bentuk kertas,
bentuk, isi, tulisannya, yang dimana kertasnya berwarna kuning, berbentuk korosan,
isinya dibagi menjadi tiga bagian: matan (ringkasan), teks asal dan syarah
(penjelasan), begitu juga tulisannya menggunakan bahasa arab.
B. Metode
Pembelajaran Kitab Kuning
1. Pengertian
Metode Pembelajaran
Secara etimologi, istilah
metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua
suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos”
yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan.[23]
Metode adalah tuntunan tentang jalan yang harus ditempuh untuk menyampaikan
atau menyajikan sesuatu pendidikan dan pelajaran agar berhasil sukses.[24] Dalam bahasa Arab metode
disebut “thariqat”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah
“cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud”.[25] M. Sobri Sutikno
menyatakan, metode pembelajaran adalah “cara-cara menyajikan materi pelajaran
yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa
dalam upaya untuk mencapai tujuan”. Sementara itu, pembelajaran adalah “proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar”.[26]
2. Macam-Macam
Metode Pembelajaran Kitab kuning
Metode dipahami sebagai
cara-cara yang ditempuh untuk menyampaikan ajaran yang diberikan. Dalam konteks
kitab kuning di pondok pesantren, ajaran itu adalah apa yang termaktub dalam
kitab kuning. Melalui metode tertentu, suatu pemahaman atas teks-teks pelajaran
dapat dicapai. Menurut Zamakhsyari Dhofier dan Nurcholish Madjid, metode
pembelajaran kitab kuning di pesantren meliputi metode sorogan, dan bandongan.
Sedangkan Husein Muhammad menambahkan bahwa, selain metode yang diterapkan
dalam pembelajaran kitab kuning adalah metode wetonan atau bandongan,
dan metode sorogan, diterapkan juga
metode diskusi (munazharah), metode evaluasi, dan metode hafalan.[27] Adapun pengertian dari
metode-metode tersebut adalah:
a. Metode
wetonan atau bandongan
Adalah cara penyampaian
kitab dimana seorang guru, kyai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi
kitab, sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberikan makna, dan
menerima.[28]
Senada dengan yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa, dalam metode ini kyai
hanya membaca salah satu bagian dari sebuah bab dalam sebuah kitab,
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan memberikan penjelasan-penjelasan
yang diperlukan.[29]
Konon metode ini merupakan
warisan dari Timur Tengah (Makah dan Mesir). Karena kedua negara ini dianggap
sebagai poros, pusat dari ajaran agama Islam di dunia. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mujamil Qamar, bahwa:
“metode yang
disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil adaptasi dari metode
pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di makah dan Mesir.
Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode wetonan lantaran
dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal pertumbuhan
hingga perkembangan yang sekarang ini”[30]
Dan metode inilah yang
paling banyak digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia. Diantara kelemahan
dari metode wetonan atau bandongan adalah metode ini membuat para
santri lebih bersikap pasif, sebab dalam kegiatan pembelajarannya kyai, ustadz
lebih mendominasi, sedangkan santri lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan
keterangan yang disampaikan oleh ustadz.
Akan tetapi efektifitas metode ini terletak pada pencapaian kuantitas
dan percepatan pembelajaran kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi
santri, kyai dan ustadz[31].
b. Metode
sorogan
Adalah “santri satu per
satu secara bergiliran menghadap kyai dengan membawa kitab tertentu. Kyai
membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, kemudian santri
mengulangi bacaan kyainya”[32] Husein Muhammad
menambahkan bahwa, murid yang membaca sedangkan guru mendengarkan sambil
memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam
metode ini, dialog murid dan guru belum atau tidak terjadi.[33] Ismail SM, seperti yang
dikutip oleh Mujamil Qamar menyatakan bahwa,
“ada beberapa
kelebihan dari metode sorogan yang secara didaktikmetodik terbukti
memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar.
Sebab metode ini memungkinkan kyai, ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing
secara maksimal kemampuan santri dalam penguasaan materi”[34].
c. Metode
Diskusi (munazharah)
Adalah sekelompok santri
tertentu membahas permasalahan, baik yang diberikan kyai maupun masalah yang
benar-benar terjadi dalam masyarakat. Diskusi ini dipimpin oleh seorang santri
dengan pengamatan dari pembina/kyai yang mengoreksi hasil diskusi itu.[35] Metode diskusi bertujuan
untuk merangsang pemikiran serta berbagai jenis pandangan agar murid atau
santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini bakan tumbuh dan berkembang
pemikiran-pemikiran kritis, analitis dan logis, dan akan lebih memicu para
santri untuk menelaah atas kitab-kitab yang lain. Keberhasilan yang dicapai
akan ditentukan oleh tiga unsur yaitu pemahaman, kepercayaan diri sendiri dan
rasa saling menghormati.[36]
d. Metode
Evaluasi
Adalah penilaian atas
tugas, kewajiban, dan pekerjaan. Cara ini dilakukan setelah pembelajaran kitab
selesai dibacakan atau disampaikan. Di masa lalu cara ini disebut imtihan, yakni
suatu pengujian santri melalui munaqasyah oleh para guru atau kyai-ulama
di hadapan forum terbuka. Selesai munaqasyah, ditentukanlah kelulusan.[37]
e. Metode
Hafalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu
dibawah bimbingan dan pengawasan kyai atau ustadz. Para santri diberi tugas
untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang
dimiliki santri ini kemudian dihafalkan di hadapan kyai dan ustadz secara
periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk kyai dan ustadz yang
bersangkutan.[38]
3. Kyai
dalam Pembelajaran Kitab kuning
Kyai merupakan salah satu
elemen yang paling esensial dalam sebuah pesantren, karena kyai adalah seorang
pendiri, perintis, atau cikal bakal pesantren. Menurut asal-usulnya, kata kyai
dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda yaitu
sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, gelar
kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, gelar yang diberikan oleh
masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan
pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Selain gelar
kyai, ia juga disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).[39] Gelar yang terakhir
merupakan gelar yang memiliki arti yang sama dengan guru, pendidik, atau
sebutan lainnya. Dalam konteks pendidikan Islam.
Di samping itu, istilah
pendidik kadang kala disebut melalui gelarnya, seperti istilah Al-ustadz dan Asy-syaikh.[40]
Menurut Muhibbin, guru adalah seseorang yang menularkan pengetahuan
dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif), melatih keterampilan
jasmani kepada orang lain (bersifat psikomotor), dan yang menanamkan nilai dan
keyakinan kepada orang lain (bersifat afektif).[41] Pengertian yang lain juga
dipaparkan oleh Husein, bahwa seorang guru atau pendidik adalah seseorang yang
memiliki tanggungjawab yang besar terhadap anak didiknya. Tanggung jawabnya
adalah berupa mengajarkan kepada peserta didiknya ilmu yang bermanfaat dan
berguna seluas-luasnya bagi kepentingan seluruh umat manusia.[42] Dalam artian lain, untuk
mencapai tujuan pendidikan yang optimal, maka seorang pendidik dituntut untuk
memiliki kesiapan (isti’dad) yang memadai untuk melaksanakan fungsinya,
sekaligus dituntut untuk membuat persiapanpersiapan (I’dad) yang cukup,
sehingga bisa melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan baik dan benar.
Para ahli dan cendikiawan muslim
telah menetapkan beberapa ciri seorang guru yang baik. Dengan ciri-ciri
berikut, seorang guru diharapkan dapat menjadi guru yang ahli di bidangnya.
Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Ikhlas
dalam mengemban tugas sebagai pengajar.
b. Memegang
amanat dalam menyampaikan ilmu.
c. Memiliki
kompetensi dalam ilmunya.
d. Menjadi
teladan yang baik bagi anak didiknya.
e. Mempunyai
wibawa dan otoritas.
f. Mengamalkan
ilmu.
g. Mengikuti
perkembangan zaman.
h. Melakukan
penelitian dan pengembangan.[43]
Semua ciri-ciri di atas
merupakan faktor pendukung bagi seorang guru, sehingga ia berhak disebut
sebagai guru teladan dan ideal. Hal ini juga, pendidik itu adalah seorang kyai
ataupun ustadz. Seorang kyai atau ustadz harus mengamalkan dan menguasai dengan
benar ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning, karena itulah salah
satu penunjang keberhasilan dalam proses pembelajaran.
4. Santri
dalam Pembelajaran Kitab kuning
Dalam pandangan Islam,
peserta didik merupakan pemimpin masa depan. Mereka juga yang akan menjalankan
roda kepemimpinan di kemudian hari. Merekalah yang menjadi peletak batu
pembangunan yang menyeluruh bagi masyarakatnya. Mereka pula yang menjadi tiang
peradaban dan sumber semangat serta penggerak perhatian terhadap jihad di jalan
Allah. Konfigurasi masyarakat yang diidamkan tentu terdiri dari pribadi-pribadi
yang sholeh, yang salah satunya adalah peserta didik, pelajar, murid atau
santri. Jika peserta didiknya rusak, maka masyarakatnya juga akan rusak.
Jadi, secara umum kita
dapat mengartikan bahwa peserta didik, murid, pelajar atau santri, mereka yang
menuntut ilmu dan berhak mendapatkan pendidikan. Dalam tulisan ini, kata
“santri” dalam berbagai referensi dikatakan sebagai orang yang mencari ilmu
agama Islam di pondok pesantren, baik yang menetap maupun yang tinggal di
rumahnya masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zamrkhasyari Dhofier
yang membagi santri menjadi dua bagian, yaitu:[44]
a. Santri
mukim yaitu santri yang berasal dari dari yang jauh dan menetap dalam Pondok
Pesantren. Santri yang mukim paling lama tersebut bisaanya memiliki tanggung jawab
unyuk mengajarkan santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
b. Sedangkan
santri kalong adalah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren dan bisaanya mereka tidak menetap dalam pesantren. untuk mengikuti
pelajarannya, mereka harus bersedia untuk bolak-balik dari rumahnya sendiri.
5. Faktor
Pendukung dan Penghambat dalam Pembelajaran Kitab Kuning
Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan dari pembelajaran kitab kuning adalah untuk
membentuk kepribadian muslim seutuhnya dalam mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Dalam pencapaian tujuan tersebut, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan yaitu faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam
pembelajaran kitab kuning. Faktor-faktor tersebut meliputi metode, materi,
sarana dan prasarana, santri dan kyai dalam pembelajaran kitab kuning[45].
a. Metode
Pendidikan agama tidak
hanya sekedar mengajarkan ajaran agama kepada peserta didik, tetapi juga
menanamkan komitmen terhadap ajaran agama yang dipelajarinya. Hal ini berarti
bahwa kitab kuning di pesantren memerlukan pendekatan pengajaran yang berbeda
dari pendekatan subjek pelajaran lain. Karena di samping mencapai penguasaan
juga menanamkan komitmen, maka metode yang digunakan dalam dalam pengajaran
pendidikan agama harus mendapatkan perhatian yang seksama dari pendidik agama
karena memiliki pengaruh yang sangat berarti atas keberhasilannya.[46]
b. Materi
Seperti ungkapan Mujamil,
bahwa isi kurikulum pesantren yang paling dominan adalah bahasa Arab, baru
kemudian fiqh. Pengetahuan-pengetahuan yang paling diutamakan adalah
pengetahuan-pengetahuan yang berhbungan dengan bahasa Arab (ilmu alat) dan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu syari’at sehari-hari (baik berhubungan
dengan ibadah maupun mu’amalah). Bahasa Arab sebagai alat dalam memahami dan
mendalami ajaran Islam terutama yang teruraikan dalam Al-Qur’an, hadits, dan
kitab-kitab klasik.[47]
c. Sarana
dan Prasarana
Cikal bakal pesantren
berawal dari pengajian di langgar atau surau, yang telah difungsikan sebagai pusat
pendidikannya. Sarana dan prasarana yang sederhana tersebut kemudian berkembang
dengan didirikannya asrama (pondok).[48] Perkembangan selanjutnya
dibangun sebuah madrasah, yang pengajarannya berlangsung di dalam kelas, dengan
menggunakan bangku, meja, dan papan tulis, untuk mencapai hasil pendidikan yang
maksimal. Setidaknya proses pendidikan tetap berjalan karena ada guru, santri,
tempat berlangsungnya pendidikan, materi dan metode pembelajaran kitab kuning.
d. Kyai
dan Santri
Dalam sebuah pesantren
hubungan kyai dan santri sangatlah erat. Misalkan dalam pembelajaran kitab
kuning, seorang kyai akan disebut dengan kyai, jika ia telah benar-benar
mendalami dan memahami isi kitab kuning dan mengamalkannya dengan kesungguhan
dan keikhlasan. Dan di mata para santri kitab kuning akan dijadikan pedoman
berpikir dan tingkah laku apabila telah dikaji di hadapan kyainya.[49] Dari sinilah yang
kemudian sangat dibutuhkan keaktifan dalam proses berlangsungnya pembelajaran
kitab kuning dari keduanya (kyai dan santri), agar tujuan dari kitab kuning
tersebut tercapai.
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN.
A.
Pendekatan Penelitian
Metode
penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. Adapuan menurut David Williams,
“penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar ilmiah dan
dilakukan oleh orang yang mempunyai perhatian ilmiah”.[50] Demikian juga penjelasan
Nana Syaodiah Sukmadina bahwa penelitian kualitatif sebagai suatu penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penomena, peristiwa,
aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan pemikiran orang secara
individual maupun kelompok. Beberapa deskripsi tersebut digunakan untuk
menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan untuk menuju kesimpulan.[51] Penulis memakai pendekatan ini karena penelitian
ini bersifat “naturalistik” artinya penelitian ini terjadi secara alami, apa
adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya,
menekankan pada deskripsi secara alami.[52]
Adapun
karakteristik penelitian kualitatif ini adalah:
1.
Mempunyai sifat induktif yaitu pengembangan konsep yang didasarkan atas
data yang ada.
2.
Melihat setting dan respons secara keseluruhan atau holistik.
3.
Memahami responden dari titik tolak pandangan responden sendiri.
4.
Menekankan validitas penelitian ditekankan pada kemampuan peneliti.
5.
Menekankan pada setting alami.
6.
Mengutamakan proses daripada hasil.
7.
Menggunakan non-probabilitas sampling.
8.
Peneliti sebagai instrument.
9.
Menganjurkan menggunakan triagulasi.
10. Menguntungkan diri pada tehnik
dasar studi lapangan.
11. Mengadakan analisis data
sejak awal.[53]
Pelaksanaannya
menggunakan tekhnik “studi kasus”. Penelitian kasus atau tehnik studi kasus
adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendetail
terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu.[54] Karena sifat yang
mendalam dan mendetail tersebut, studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang
‘longitudinal’ yakni hasil pengumpulan dan analisa data kasus dalam satu jangka
waktu.
B.
Lokasi Penelitian
Adapun
obyek penelitian adalah Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu. Pemilihan ini didasarkan pada peneliti sudah
mengetahui situasi dan kondisi madrasah,
Pondok Pesantren tersebut menerapkan pembelajaran kitab kuning serta,
peneliti sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan lokasi
penelitian adalah pesantren yang hingga kini tetap mempertahankan ciri khas
metode pembelajaran kitab kuning yang menarik minat peneliti sebagai mahasiswa
Perguruan Tinggi yaitu Institut Agama Islam Qamarul Huda Bagu.
C.
Kehadiran Peneliti
Sesuai
dengan jenis penelitian, yaitu penelitian kualitatif, maka kehadiran peneliti
ditempat penelitian sangat diperlukan sebagai instrument utama. Dalam hal ini
peneliti bertindak sebagai perencana, pemberi tindakan, pengumpul data,
penganalisis data, dan sebagai pelapor hasil penelitian. Peneliti di lokasi
juga sebagai pengamat penuh. Disamping itu kehadiran peneliti diketahui
statusnya sebagai peneliti sekaligus santri “mukim” oleh pembina dan pengajar
Pondok Pesantren Qamrul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah. Adapun prosesnya, peneliti tercantumkan tabel rancangan
jadwal penelitian untuk dijadikan gambaran singkat dalam melakukan penelitian
ini,
No
|
Kegiatan
|
Bulan
|
|||||||||||||||
April
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
Pengajuan Judul
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Observasi Awal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3
|
Pembuatan dan
ACC Proposal Penelitian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4
|
Mengurus Izin
Penelitian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
Pelaksanaan
Penelitian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6
|
Menyusun
Laporan Penelitian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7
|
Dan Lain-lain
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel 01. Rancangan Jadwal Penelitian
Keterangan: Jadwal Penelitian ini dapat
berubah sewaktu-waktu sesuai dengan situasi dan
kondisi yang terjadi di lapangan.
D.
Sumber Data
Data
merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu hal
yang diketahui atau yang yang dianggap atau anggapan. Atau suatu fakta yang
digambarkan lewat angka, simbol, kode, dan lain-lain.[55] Data penelitian
dikumpulkan baik lewat instrumen pengumpulan data, observasi maupun lewat data
dokumentasi. Sumber data secara garis besar terbagi ke dalam dua bagian, yaitu
data primer dan data sekunder.
Data
primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan
tekhnik pengambilan data yang dapat berupa interview, observasi, maupun
penggunaan instrumen pengukuran yang khusus dirancang sesuai dengan tujuannya.
Sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung yang
bisaanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.[56] Ketepatan dan kecermatan
informasi mengenai subjek dan variabel penelitian tergantung pada strategi dan
alat pengambilan data yang dipergunakan. Hal ini pada akhirnya akan ikut
menentukan ketepatan hasil penelitian.
Menurut
Lofland, sebagaimana yang dikutip oleh Moleong menyatakan bahwa “sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.[57] Jadi, kata-kata dan
tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama
dan dokumen atau sumber tertulis lainnya merupakan data tambahan.
Jadi
sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yang diperoleh
dari informan yang terkait dalam penelitian, selanjutnya dokumen atau sumber
tertulis lainnya merupakan data tambahan. Adapun yang menjadi sumber data dalam
penelitian ini adalah:
1. Pembina
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu.
2. Ketua
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu.
3. Asatidz
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu.
4. Santri
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu.
E.
Prosedur Pengumpulan Data
Tekhnik
pengumpulan data yang digunakan adalah:
1.
Metode Observasi
Observasi merupakan alat
pengumpul data yang dilakukan secara sistematis. Observasi dilakukan menurut
prosedur dan aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti dan
hasil observasi memberikan kemungkinan untuk ditafsirkan secara ilmiah.
Secara umum observasi
dapat dilakukan dengan cara yaitu:
a.
Observasi Partisipan
Adalah suatu proses
pengamatan yang dilakukan oleh observasi dengan ikut mengambil bagian dalam
kehidupan orang-orang yang akan di observasi.
b.
Observasi Non Partisipan
Merupakan suatu proses
pengamatan observer tanpa ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan
secara terpisah berkedudukan sebagai pengamat.[58]
Dalam penelitian
ini akan digunalan metode observasi partisipan, dimana untuk mendapatkan
data-data dengan melihat langsung fakta di lokasi penelitian dengan cermat,
akurat dan sistematik. Dan juga mengikuti kehidupan orang-orang yang akan di
observasi.
2.
Metode Interview
Metode
interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh
informasi dari terwawancara.[59] Metode ini penulis
gunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada hubungannya dengan
jenis data yang penulis perlukan.
3.
Metode Dokumentasi
Tekhnik dokumentasi adalah
mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip
,buku,surat kabar, majalah, parasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya mengisyarat.[60]
Jadi dapat dipahami bahwa
metode dokumentasi merupakan metode yang penting dalam penelitian ini sebab
data-data tertulis sangat menunjang dalam menganalisis data.
F.
Analisis Data
Analisis
data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[61] Pengelolaan data atau
analisis data merupakan tahap yang penting dan menentukan. Karena pada tahap
ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang diinginkan dalam penelitian. Dalam
menganalisis data ini, penulis menggunakan tekhnik analisis deskriptif
kualitatif, dimana tekhnik ini penulis gunakan untuk menggambarkan, menuturkan,
melukiskan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang telah penulis
peroleh dari hasil metode pengumpulan data. Menurut Seiddel proses analisis
data kualitatif adalah sebagai berikut:
1.
Mencatat sesuatu yang dihasilkan dari catatan
lapangan, kemudian diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
2.
Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan,
mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
3.
Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data
itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan
membuat temuan-temuan umum.[62]
Adapun
langkah yang digunakan peneliti dalam menganalisa data yang telah diperoleh
dari berbagai sumber tidak jauh beda dengan langkah-langkah analisa data di
atas, yaitu:
1.
Mencatat dan menelaah seluruh hasil data yang
diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, observasi dan
dokumentasi.
2.
Mengumpulkan, memilah-milah, mensistesiskan,
membuat ikhtisar dan mengklasifikasikan data sesuai dengan data yang dibutuhkan
untuk menjawab rumusan masalah.
Dari data
yang telah dikategorikan tersebut, kemudian peneliti berpikir untuk mencari
makna, hubungan-hubungan, dan membuat temuantemuan umum terkait dengan rumusan
masalah. Dalam menganalisis data, peneliti juga harus menguji keabsahan data
agar memperoleh data yang valid. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam
penelitian ini digunakan lima tehnik pengecekan dari sembilan tehnik yang
dikemukakan oleh Moleong. “Kelima tehnik tersebut adalah Observasi yang
dilakukan secara terus menerus (persistent observation), Trianggulasi (trianggulation)
sumber data, metode, dan penelitian lain, Pengecekan anggota (member
check), 4) Diskusi teman sejawat (reviewing) dan Pengecekan mengenai
ketercukupan refrensi (referential adequacy check)”.[63]
Penjelasan
secara rinci adalah sebagai berikut:
1.
Observasi secara terus menerus
Langkah ini
dilakukan dengan mengadakan observasi secara terus menerus terhadap subyek yang
diteliti, guna memahami gejala lebih mendalam, sehingga dapat mengetahui
aspek-aspek yang penting sesuai dengan fokus penelitian.
2.
Triangulasi
Yang dimaksud
trianggulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain, di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu, tehniknya dengan pemeriksaan sumber lainnya.[64] Hamidi menjelaskan “tehnik
trianggulasi ada lima, yaitu: pertama Trianggulasi metode, kedua
Trianggulasi peneliti, ketiga Trianggulasi sumber, keempat Trianggulasi
situasi, dan kelima Trianggulasi teori.
3.
Pengecekan anggota
Langkah ini
dilakukan dengan melibatkan informan untuk mereview data, untuk
mengkonfirmasikan antara data hasil interpretasi peneliti dengan pandangan
subyek yang diteliti. Dalam member check ini tidak diberlakukan kepada
semua informan, melainkan hanya kepada mereka yang dianggap mewakili.
4.
Diskusi teman sejawat
Dilaksanakan
dengan mendiskusikan data yang telah terkumpul dengan pihak-pihak yang memiliki
pengetahuan dan keahlian yang relevan, seperti pada dosen pembimbing, pakar
penelitian atau pihak yang dianggap kompeten dalam konteks penelitian, termasuk
juga teman sejawat.
5. Ketercukupan
refrensi
Untuk
memudahkan upaya pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan penelitian dengan
data yang diperoleh dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan penyimpanan data
dan informasi terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan penyimpanan terhadap
metode yang digunakan untuk menghimpun dan menganalisis data selama penelitian.
G.
Keabsahan Data dan Temuan
Keabsahan
data sangat perlu dilakukan agar data yang dihasilkan dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keabsahan data merupakan suatu langkah
untuk mengurangi kesalahan dalam proses perolehan data penelitian. Maka dari
itu dalam proses pengecekan keabsahan data pada penelitian ini harus melalui
beberapa tehnik pengujian data.[65] Adapun tehnik pengecekan
keabsahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
- Perpanjangan keikutsertaan
Peneliti dalam
penelitian kualitatif adalah instrument itu sendiri keikutsertaan peneliti
sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya
dilakukan dalam singkat waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan
keikutsertaan pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan ini berarti
peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data
tercapai. Dalam hal ini, peneliti langsung terjun ke lokasi penelitian dan
mengikuti serta mengamati proses belajar mengajar dan berbagai kegiatan dalam
rangka Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Qamarul Huda Bagu dalam waktu yang cukup panjang dengan maksud menguji ketidak
benaran informasi yang diperkenalkan oleh peneliti sendiri atau responden serta
membangun kepercayaan terhadap subyek.
- Ketekunan pengamatan
Ketekunan
pengamatan dimaksudkan untuk menentukan data dan informasi yang relevan dengan
persoalan yang sedang dicari oleh peneliti kemudian peneliti memusatkan diri
pada hal-hal tersebut secara rinci.
BAB IV
PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. PAPARAN DATA
1. Deskripsi
Umum Objek Penelitian
a.
Letak
Geografis
Pondok Pesantren Qamarul
Huda Bagu merupakan sebuah pondok pesantren yang berada di kawasan Lombok
Tengah tepatnya berada di wilayah Kecamatan Pringgarata Desa Bagu.
Untuk lebih
tepatnya dapat dijabarkan antara lain:
1)
Di
sebelah barat berbatasan dengan Desa Bilebante kecamatan Pringgarata Lombok
Tengah
2)
Di
sebelah timur berbatasan dengan Desa Sisik Kecamatan Pringgarata Lombok Tengah
3)
Di
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Menemeng Kecamatan Pringgarata Lombok
Tengah
4)
Di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Tanak Beak Kecamatan Narmada Lombok Barat[66]
b.
Sejarah
Berdirinya Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Berdirinya pondok
pesantren Qamarul Huda Bagu tidak lepas dari sejarah kehidupan pendirinya yakni TGH.
L. M. Turmudzi Badaruddin ketika masih menjadi santri di pondok pesantren Darul
Qur’an Bengkel yang pada waktu itu beliau diserahi oleh TGH. Muh. Shaleh
Hambali untuk mengajar para santri yang ada di Bengkel, selama mengajar di
Bengkel beliau menamakan tempat mengajarnya Qamarul Huda adapun yang lain ada
yang namanya Samsul Huda, Badarul Huda dan Najmul Huda.
Pada tahun 1963
tepatnya pada tanggal 1 April TGH. L. M. Badaruddin mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun membentuk lembaga diniyah dan lembaga formal, Yayasan Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah NTB memiliki lembaga pendidikan
formal dan non-formal dari Tingkat Dasar, Menengah dan Perguruan Tinggi, yaitu
antara lain:
1) Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) Qamarul Huda
2) Taman
Kanak-Kanak Qamarul Huda
3) Madrasah
Ibtida’iyah Qamarul Huda
4) Madrasah
Tsanawiyah Qamarul Huda
5) Madrasah
Aliyah Qamarul Huda
6) Al-I’dad
& Madrasah Diniyah Sufla Qamarul Huda
7) Madrasah
Diniyah Wustha Qamarul Huda.
8) Ma’had
Aly Qamarul Huda
9) Sekolah
Tinggi Agama Islam Ibrahimy Qamarul Huda sampai saat ini baru membuka 3 (dua)
fakultas yakni:
a)
Fakultas Tarbiyah dengan program studi
Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahas Arab
b) Fakultas
Syari’ah dengan program studi Mu’amalah dan Ahwalussiasyah.
c) Fakultas
Ushuluddin dengan program studi Pemikiran Politik Islam (PPI).
10) Sekolah
Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan Program Studi:
a)
S1 Bahasa Inggris
b) S1
Bahasa Indonesia
c) S1
Matematika
d) S1
Ekonomi
11) Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Qamarul Huda dengan program studi:
a) S1
Keperawatan
b)
D3 Kebidanan
c)
D3 Rekam Medik dan Informatika Kesehatan
d)
D3 Farmasi
e) Frofesi
NERS[67]
c. Profile Pondok Pesantren
Nama : Qamarul Huda
Tahun berdiri : 1963
Status : Yayasan
Tempat : Desa Bagu
Kecamatan : Pringgarata
Kabupaten : Lombok Tengah
Provinsi :
Nusa Tenggara Barat[68]
d.
Visi
dan Misi Pondok Pesatren Qamarul Huda Bagu
Visi
Untuk mencetak kader-kader pemuda yang tafaqquh fiddin
dan bermamfaat bagi agama, nusa dan bangsa
Misi
a.
Melakukan
pengajaran intensif
b.
Mengoptimalkan
proses pengajaran
c.
Meningkatan
pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari[69]
e.
Kondisi
Santri
Berikut ini
peneliti paparkan keadaan para santri yang ada di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu antara lain :
Tabel 02. Kondisi Santri
L/P
|
Tahun
|
|||||
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
|
L
|
60
|
65
|
63
|
77
|
80
|
79
|
P
|
67
|
70
|
75
|
80
|
120
|
132
|
Jumlah
|
127
|
135
|
138
|
157
|
200
|
211
|
(Dokumentasi kondisi
santri)[70]
f.
Kondisi
Asatidz dan Pengurus
Keadaan dan
jumlah Asatidz dan
pengurus di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu yang ada dapat dilihat di tabel di bawah ini:
Tabel 03. Kondisi Asatidz dan Pengurus
No
|
Nama
|
Mengajar
|
Keterangan
|
1.
|
Tamim Ali Akso
|
Fiqh
|
Ketua asrama
|
2.
|
Zul Arsil Majid
|
Nahwu
|
Sekertaris
|
3.
|
Bq. Ayu Ningsih
|
Fiqh
|
Bendahara
|
4.
|
Sukronnadi
|
Hadits
|
Perizinan
|
5.
|
L.Hamdani
|
Nahwu
|
Koor. Aspura
|
6.
|
Muh. Ichsan
|
Sharaf
|
Keamanan
|
7.
|
Satriawan
|
Bhs Arab
|
Humas
|
8.
|
Bq. Nurmayana
|
Tajwid
|
Koor. Aspuri
|
9.
|
Toyib al-fatwa
|
__
|
Kesehatan
|
(Dokumentasi
asatidz dan pengurus)[71]
g.
Keadaan
Sarana dan Prasarana
Adapun sarana
dan prasarana yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu dapat
peneliti paparkan antara lain:
Tabel 04. Keadaan Sarana dan
Prasarana
No
|
Jenis sarana
|
Jumlah
|
1.
|
Asrama
|
18 ruang
|
2.
|
Tempat
pengajian
|
6 ruang
|
3.
|
Sekertariat
|
2 ruang
|
4.
|
Ruangan ketua
asrama
|
1 ruang
|
5.
|
Alat
pembelajaran
a.
Papan tulis
b.
Spidol
c.
Penghapus
d.
Dan lain-lain
|
6 buah
3 kotak
10 buah
|
(Dokumentasi sarpras)[72]
2. Struktur
Organisasi Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Adapun
komposisi kepengurusan Yayasan Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu saat ini
adalah sebagai berikut:
Pembina/Pengasuh :
TGH. L. M. Turmudzi Badaruddin
Ketua Yayasan : Drs. H. L. Azhari,
M.Pd.I
Sekertaris : L. Muhayat,S.Pd.I
Bendahara : L. Hamdi
Staf :
L. Ihsan
SEKSI-SEKSI
Seksi Pembangunan : Umi Hj. Halimah Turmudzi
Seksi Pendidikan : H. L. Barsih Hadi, S.H.I
Seksi Ekonomi : Drs. H. M. Faitang
Seksi Pondok Pesantren : H. M. Zarkasi Efendi M.Pd.I[73]
3. Asatidz
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Keadaan asatidz di Pondok Pesantren
Qamarul Huda pada tahun ini terjadi peningkatan, karena memang asatidznya bukan
hanya dari pembina, pengurus dan asatidz di lingkup pondok pesantren saja, bahkan
ada beberapa asatidz dari luar, baik alumni maupun tuan guru yang didatangkan
sebagai pengajar tambahan, seperti TGH. L. Khairi Adnan, TGH. Muh. Nuh dan
lainnya.[74]
Namun walaupun kenyataannya seperti itu
menurut pengurus pondok pesantren ini, Ustdz H. Zarkasi Efendi, M.Pd.I masih
dirasakan kurang memadai, yang dimana dapat difahami apabila hanya mengandalkan
asatidz di luar, waktu mereka agak terganggu dengan tugas yang lainnya, maka
dari itu, dibuatlah asatidz dari santri sendiri sebagai pengajar, yang dimana para
santri senior mengajar para santri junior.[75]
Lebih lanjut beliau juga menilai positif
terhadap ketanaga pengajar dengan adanya bimbingan secara langsung oleh Pembina
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu yaitu TGH. L. M. Turmudzi Badaruddin, dimana
bimbingan ini amat sulit ditemukan di pondok-pondok pesantren yang lain.[76]
Titik kelemahan yang terdapat dalam
tenaga pegajar, khususnya dalam hal ini para santri senior, seperti apa yang
diungkapkan oleh salah satu santri junior bahwa:
“asatidz senior yang belum
terlalu memahami apa yang diajarkannya kepada kami, hal ini terlihat ketika kami
menanyakan masalah tetang pelajaran yang diajarkan, tidak sedikit jawabannya
tidak sesuai dengan pertanyaan yang diutarakan. Dan begitupun dalam hal
mengartikan kata per kata dalam kitab kuning, sangat sulit dimengerti seperti tanbiihun yang diartikan jaga-jaga, dan lain sebagainya”.[77]
Hal serupa juga diakui oleh Ustadz Tamim
Ali Akso, S.Pd.I bahwa:
“memang harus diakui kebanyakan asatidz
dari kalangan santri senior masih belum terlalu memahami apa yang diajarkannya
dan masih menggunakan bahasa-bahasa klasikal yang pastinya sulit difahami oleh
para santri dalam memahami isi kitab kuning tersebut”.[78]
Demikian pula pengakuan sendiri dari salah
satu santri senior, bahwa:
“saya disini sebagai santri yang
sudah lebih dahulu mondok disuruh untuk mengajar para santri yang masih baru,
meskipun sebenarnya saya belum pantas mengajar kitab kuning karena memang
pengetahuan tentangnya masih sangat sedikit, namun seperti itu saya jadikan
sebagai ajang untuk melatih diri dalam mengajar”[79]
Terlepas dari itu semua adalah yang
terpenting dalam pengrekrutan asatidz lebih mengutamakan backround ahlussunnah wal
jama’ah serta pernah megenyam pendidikan pesantren, jadi dalam mengajarkan
kitab kuning adanya kesesuaian dengan yang dipelajari oleh Pondok Pesantren
Qamarul Huda Bagu.[80]
Mayoritas dari mereka merupakan lulusan
pondok pesantren dan sebagian yang lainnya lulusan perguruan tinggi bahkan
lulusan makkah dan madinah. Maka dari itu saat ini asatidz mengalami
peningkatan dari segi kualitas mapun kuantitasnya.[81]
Dengan keadaan asatidz seperti
dipaparkan diatas, Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu memiliki potensi untuk
lebih berkembang dan maju, dengan megupayakan memperbaiki kelemahan-kelemahan
yang sedang dihadapi, baik dalam hal ketenaga pengajaran dan pembelajaran kitab
kuning yang untuk kedepan pondok pesantren ini untuk merencanakan dalam peningkatan
mutu pendidikan.
4. Keadaan
Santri Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Sejalan dengan waktu, jumlah santri di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu sampai saat ini terus mengalami perkembangan dan
perubahan, baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Dari segi kuantitas, ini
sesuai dengan data yang tercatat dalam buku induk santri dari tahun ke tahun
adanya peningkatan, begitupula dari segi kualitas, adanya upaya pengembangan
pemahaman kitab kuning.
Seperti yang dituturkan oleh ketua
asrama, Ustdz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I bahwa:
“para santri yang berada di
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu minimal adalah lulusan madrasah ibtidaiyah
atau sekolah dasar dan ada pula dari mahasiswa. Mereka diwajibkan mengikuti
semua kegiatan yang sudah diprogramkan, seperti: rotibul haddad, berzanji, khataman
qur’an, shalawat burdah dan pengajian kitab kuning, serta mengikuti kegiatan
rutin yang ada di pondok pesantren qamarul huda bagu, seperti khitobah, gema
imtihan yang diadakan sekali dalam 1 tahun, pengajian umum pada tiap-tiap malam
jum’at, dan lain sebagainya yang bersifat mingguan, bulanan dan tahunan”.[82]
Peneliti juga melihat bahwa, selain
mereka menjadi santri, semuanyapun merupakan siswa sekolah formal, bahkan tidak
sedikit dari mereka masih melanjutkan jenjang pendidikan sebagai mahasiswa
diberbagai perguruan tinggi yag ada di Desa Bagu, seperti: Institut Agama Islam
Qamarul Huda (IAIQH), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Qamarul Huda (STKIP)
dan Sekolah Tinggi Kesehatan Qamarul Huda (STIKes).[83]
Mengenai kegiatan yang dilakukan para
santri, peneliti mengamati mulai dari pagi hari hingga malam hari yang pada
prinsipnya adalah belajar, beribadah, dan berlatih terjun ke tengah-tengah
masyarakat. Dalam kegiatan belajar antara lain, berupa pengajian kitab kuning,
mengikuti pelajaran Madrasah Diniyah, dan lain-lain. Kegiatan beribadahnya
antara lain, shalat berjama’ah, khataman Al-Qur’an, tadarrus Al-Qur’an, dzikir,
dan lain-lain. Sedangkan kegiatan berlatih untuk terjun ke tengah masyarakat
adalah Gema Imtihan, mengikuti perlombaan-perlombaan yang diadakan oleh
beberapa instansi, dan lain-lain.[84]
Kegiatan tersebut diatas, walaupun telah
dirancang dengan sangat baik, namun yang menjadi kendalanya adalah keadaan
santri yang kebanyakan lulusan dari sekolah formal, seperti SD, SMP, SMA, yang
dimana mereka belum pernah mengenyam pendidikan pondok pesantren, sehingga
dalam mengaturnya juga agak sulit, meskipun demikian akan selalu diupayakan
dalam mendidik sebagaimana yang ada di pondok pesantren ini.[85]
Menurut pengamatan peneliti, adanya
beberapa kegiatan di atas merupakan motivasi bagi para santri untuk berani
tampil di muka umum ketika mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat.[86]
Untuk memudahkan pengontrolan terhadap aktivitas para santri tersebut, maka
dibuatlah peraturan atau tata tertib pondok yang telah ditetapkan oleh Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu. Dalam peraturan atau tata tertib pesantren
disebutkan bahwa bagi para santri diharuskan mengikuti semua kegiatan pondok pesantren
yang telah dipaparkan sebelumnya. Dalam hal berpakaian, para santri diwajibkan
untuk mengenakan busana muslim yang sopan (sesuai dengan syari’at Islam).[87]
Mengenai jenis sanksi bagi santri yang
melanggar peraturan tersebut, disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan. Peraturan-peraturan yang lain dapat dilihat pada halaman lampiran.
Dan hingga saat ini kegiatan-kegiatan tersebut masih berjalan dengan baik.
5. Kurikulum
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Sebagai lembaga pendidikan yang berada
di dalam Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, senantiasa berusaha meningkatkan
kualitas sistem pendidikan dan pengajarannya, baik dari pendidikan Madrasah Diniyah
dan Ma’had Alynya, maupun dari metode pengajarannya. Usaha-usaha peningkatan
tersebut dapat peneliti lihat dengan adanya perubahan dari aspek klasifikasi
dalam pembelajaran kitab kuning, yaitu: adanya
tingkat kelas Ula (permulaan), kelas Wustho (pertengahan) dan kelas
A’laa (tinggi). Perubahan tersebut diikuti dengan perbaikan dan penataan
kurikulum dan orientasinya, guna menghasilkan tujuan dari pendidikan dan
pengajaran.[88]
Adapun mengenai susunan materi pelajaran
kitab kuning disesuaikan dengan tingkat
kelasnya, hal tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 05. Klasifikasi Pembelajaran
Kitab Kuning
Kelas
|
Materi
pelajaran
|
Ula
|
a.
Matan Jurumiyah
b.
Mabaadiul Fiqhiyah
c.
Akhlaqul Lil-banin
d.
Durusul Al-
lughoh
e.
Arbin Nawawi
f.
Amtsilatul Jadidah
|
Wustho
|
a.
Matan At-taqrib
b.
Amtsilatu At-tasrif
c.
Syarah Dahlan
d.
Mustholahul Al-hadits
e.
Durusul Al-lughoh
f.
Ta’limul Mutaallilm
|
A’la
|
a.
Fathul Qorib
b.
Ta’liimul Muta’allim
c.
Durusul Al-lughoh
d.
Mutammimah
|
(Dokumentasi
klasifikasi pembelajaran kitab kunig)[89]
Mengenai pendidikan Ma’had Aly, Usatdz
H. L. Tamim Ali Akso S.Pd.I mejelaskan bahwa “pendidikan Ma’had Aly ini khusus
diberikan kepada para santri yang sudah berstatus mahasiswa, karna memang pembelajaran
kitab kuning yang dikaji lebih mendalam”[90]. Mengenai kitab kuning
yang dikaji adalah: Mutammimah, Fathul
Mu’in, Safinatun an-naja, Tafsir Jalain, Waroqoh, dan Arbain Nawawi.[91]
Kitab-kitab tersebut dikaji setiap hari
sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Yang dimana para santri diwajibkan
mengikutinya sesuai dengan kelas yang ditempuhnya.
Selain perkembangan dari segi
pembelajaran kitab kuning, ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk umum,
seperti: berzanji, sholawat burdah, istighozah, dan lainnya yang waktunya
selesai shalat isya’, bertempat di majlis pembina dan diikuti oleh para santri.[92]
6. Metode
Pembelajaran Kitab Kuning
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
mengadakan proses pembelajaran kitab kuning bagi para santri pada waktu pagi,
siang, sore , dan malam. Dalam proses pembelajaran tersebut Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu sebelum dilakukan pengembangan, pondok pesantren
ini menggunakan metode klasik yang berpusat pada tuan guru dan asatidz. Metode tersebut adalah metode bandongan.
Seiring dengan kebutuhan untuk menunjang pengembangan dalam pembelajaran kitab
kuning Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu menambah metode evaluasi, diskusi dan
hafalan.[93]
Metode bandongan ini lebih banyak
dimanifestasikan oleh Pembina Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu yang bertempat
di masjid dan di rumahnya, seperti penjelasan beliau ketika peneliti dating
untuk mewawancarainya, bahwa:
“mamiq (saya) dalam mengajar kitab kuning
para santri menggunakan metode bandongan, yaitu dengan duduk melingkar, salah
satu santri membaca, mamiq
mengartikan kata perkata dan menjelaskan isi kitab kuning tersebut kemudian
para santri mencatatnya, yang bertempat di
mesigit (masjid) dan di gedeng mamiq
(rumah saya)”[94]
Mengenai metode evaluasi ini merupakan sebuah
metode untuk mengukur pengetahuan para santri dalam materi yang telah
diajarkan, itupun diterapkan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan dan sebelum
diadakan evaluasi, para santri disuruh untuk mempersiapkan terlebih dahulu.[95]
Adapun penerapan metode diskusi hanya
dikhususkan kepada para santri yang telah berstatus mahasiswa dengan tujuan untuk
melatih berargumen dalam menjawab sebuah permasalahan yang diselaraskan oleh
dalil-dalil yang ada didalam kitab-kitab karangan ulama’ salaf.[96]
Demikian pula dengan metode hafalan,
diberikan penjelasan oleh Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I bahwa:
“metode
hafalan diterapkan menjadi dua bagian, yang pertama khusus bagi para santri
yang bestatus mahasiswa diwajibkan menghafal al- fiyah dan arbain nawawi,
adapun bagi para santri yang belum menjadi mahasiswa diwajibkan menghafal matan jurumiyah, matan taqrib dan
ayat-ayat pendek Al-Qur’an”.[97]
Masih menurut beliau, walaupun metode
hafalan diterapkan, namun demikian sekarang ini budaya menghafal dari para santri
sudah mulai menurun, ini disebabkan oleh lebih banyaknya waktu untuk sekolah
formal,baik mengenai kegiatan yang bersifat intra maupun ekstra.[98]
Hal serupa pula diiyakan oleh pengurus
Pondok Pesantren Qamarul Huda bahwa dalam menerapkan metode-metode di pondok
pesantren ini adalah lebih banyaknya waktu untuk sekolah formal, yang dimana
dengan keadaan tersebut membuat para santri sulit untuk membagi waktu dalam pembelajaran
kitab kuning dan menghafalnya.[99]
Demikian pula menurut salah satu santri
junior tentang metode pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren ini, bahwa
mengenai metode pembelajaran kitab kuning disini sangatlah bagus, akan tetapi
yang menjadi kendala adalah waktu yang sangat padat, yang dimana diharuskan
untuk mengatur waktu, padahal waktu dalam keseharian lebih banyak dipakai di
sekolah dan di luar sekolah.belum lagi kesulitan dalam memahami apa yang
diajarkan.[100]
Berbeda dengan dengan penilaian
pewawancara diatas, salah satu santri junior memandang metode pembelajaran
kitab kuning di pondok pesantren sangat memadai, karena dengan metode bandongan
para santri bisa belajar bersama dan mendengarkan secara langsung penjelasan
dari pembinanya yaitu TGH. L. M. Turmudzi Badaruddin, adapun tentang metode
hafalan para santri diharapkan agar lebih mudah dalam memahami gramatika bahasa
arab, baik yang berbentuk nadzom
ataupun kitab-kitab matan yang untuk
selanjutnya mendapat pemahaman dalam mengkaji kitab-kitab syarah dan demikian juga dengan metode diskusi, para santri
diharapkan mampu mengkaji kitab kuning secara mendalam dengan membandingkan
pendapat para ulama’ dan bisa memilih dan memilah untuk dijadikan pegangan
dalam kehiduan.[101]
Meskipun keadaannya seperti itu, ketua
asrama pondok pesantren ini tetap memandang optimis untuk selalu mensinergikkan
dengan cara mengupayakan pengembangan dalam metodenya dan mengkondisikan dalam
pengimplementasiannya, yaitu dengan membuatkan waktu-waktu khusus dalam
menghafal dan diskusi agar tidak terganggu dengan kegiatan yang lain, sehingga
terciptanya tujuan pembelajaran kitab kunig terssebut.[102]
B. PEMBAHASAN
Pada
pembahasan ini, peneliti berusaha untuk menjelaskan dan menjawab apa yang sudah
peneliti temukan dengan beberapa data yang sudah ditemukan, baik dari hasil observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Berangkat dari sini, peneliti mencoba
mendiskripsikan data-data yang telah peneliti temukan berdasarkan dari logika
dan diperkuat dengan data-data yang kemudian diharapkan bisa menemukan sesuatu
yang baru.
Sesuai
dengan tehnik analisa yang peneliti gunakan yaitu analisis kualitatif
deskriptif (menggambarkan) untuk menjelaskan semua temuan yang sudah ada.
Adapun pembahasannya juga berdasarkan rumusan masalah yang sudah peneliti
paparkan.
1. Implementasi
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Pembelajaran kitab kuning merupakan
kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dalam tubuh pondok pesantren. Kegiatan ini
dikalangan pondok pesantren berkeyakinan kukuh bahwa ajaran-ajaran yang terkandung
dalam kitab kuning pedoman keberagamaan dan kehidupan yang valid dan relevan,
valid artinya ajaran-ajaran tersebut diyakini berasal dari Al-Quran dan Al-Hadits
dan relevan artinya bahwa ajaran-ajarannya masih berguna untuk sekarang, nanti
dan bahkan sampai kehidupan akhirat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti
berusaha mendeskripsikan Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning di
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu.
a.
Tujuan Pembelajaran Kitab Kuning di
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Tujuan
merupakan hal yang sangat vital dalam suatu pendidikan, karena tanpa adanya
orientasi yang jelas, maka pendidikan tersebut tidak akan tahu arah kedepannya,
seperti itu pula Pondok Pesantren Qamarul Huda ini memiliki tujuan dalam
mengimplementasikan pembelajaran kitab kuning, yaitu:
1)
Untuk meneruskan perjuangan para kyai,
sebagaimana peneliti ketahui bahwa kyai merupakan subyek yang paling penting
dalam membina masyarakat dan mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan, maka dari itu
sangat diperlukan kader-kader untuk meneruskan perjuangannya setelah ditinggal
meninggal, agar terjadi estafet kepemimpinan di tengah-tengah masyarakat
masing-masing.
2)
Untuk mewarisi dan mengembangkat
khazanah keilmuan islam yang terdapat di dalam kitab kuning dan para santri
diharapkan mampu mengamalkan isi ajaran-ajarannya, bukan hanya di pondok
pesantren, namun lebih daripada itu, mampu mengamalkan di dalam masyarakat, bangsa
dan negara, sehingga ilmunya bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
3)
Untuk mempertahankan faham ahlussunnah
wal jama’ah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa background pondok pesantren ini adalah
berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama’ (NU) dan sudah memiliki tekat
memperjuangkan, memeliharan dan mengamalkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah.
Hal
diatas sesuai dengan tujuan pondok pesantren ini yang dipaparkan secara umum
melalui visi dan misinya.
b.
Pelaksanaan Pembelajaran Kitab Kuning di
Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
Dalam
pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, masih
menggunakan sistem klasik yaitu kelas Ula ,kelas Wustho, dan A’la. Adapun
kitab-kitab yang dipakai pada setiap tingkatan kelas tersebut telah disebutkan
secara rinci pada pembahasan sebelumnya. Dan juga mengenai metode yang
diterapkan oleh pondok pesantren ini, telah peneliti jelaskan. Ada beberapa hal
yang akan digambarkan peneliti berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran kitab
kuning ini.
1)
Materi Pembelajaaran Kitab Kuning
Seharusnya
pengajaran dasar-dasar keislaman ditempuh harus sesuai dengan tingkat kemampuan
para santri agar adanya kesesuaian dengan tingkat kemampuannya.
Begitu
pula dengan penelitian yang peneliti lakukan di Pondok Pesantren Qamarul Huda
Bagu bahwasanya, materi pembelajara kitab kuning yang diterapkan ternyata bisa
dikatakan belum sesuai dengan kelasnya masing-masing, inipun berdampak pada
ketidak sesuaian antara kemampuan santri terhadap kitab kuning yang
dipelajarinya, hal tersebut terlihat dari dari tabel klasifikasi pembelajaran
kitab kuning itu sendiri, yang mana antara kelas Ula, Wustho dan A’la terdapat
kesamaan pembelajaran kitab kuning, yaitu pada kitab Durusul Al-Lughoh, Amtsilatul Jadidah/Tashrif, dan Ta’limul Muta’allim,
bahkan antara kelas Ula dan A’la keduanya itu ada kesamaan pembelajaran kitab
kuning dengan apa yang dikaji di pendidikan Ma’had Aly, yaitu kitab Mutammimah dan Arbain Nawawi.
Hal
tersebut bisa ditoleril, karena memang seperti interview peneliti, bahwa
pengklasifikasian dilakukan disesuaikan dengan tingkat pendidikan formal santri
itu sendiri.
Namun
walaupun kenyataannya seperti itu peneliti menilai bahwa dengan adanya
pengklasifikasian, pondok pesantren ini untuk kedepan sudah bisa memetakan
dalam penentuan pembelajaran kitab kuning, serta arahnya jelas untuk para
santri.
2)
Metode Pembelajaran Kitab Kunig
Sejak awal
berdiri dan berkembangnya metode pembelajaran kitab kuning yang dipakai adalah
metode yang lazim dipakai di pondok pesantren pada umumnya, yaitu:
a)
Metode bandongan
Metode yang
digunakan di Pondok Pesantren Qamarul Huda dalam pembelajaran kitab kuning,
baik yang bersifat kelas kecil maupun kelas besar. Kelas kecil maksudnya
pembelajaran yang diikuti oleh beberapa santri sesuai dengan kelasnya, kelas
besar artinya pembelajaran yang dilakukan di tempat umum dan diikuti oleh semua
santri. Metode bandongan ini bisaanya digunakan oleh Pembina pondok pesantren
yang dilaksanakan di masjid setiap
selepas shalat magrib dan subuh, dan gedeng
(rumah) Pembina selepas shalat isya’.
Metode ini
lebih dominan dipakai dalam pembelajaran kitab tafsir, fiqh dan tasawuf.
Dalam
metode ini tuan guru menyuruh salah
satu santri membaca dan tuan guru
mengartikan kata perkata selanjutnya menjelaskan isi kitab kuning tersebut,
sedangkan para santri menyimak, mencatat apa yang telah dijelaskan oleh tuan guru. Dalam penjelasannya terkadang
memakai bahasa sasak, terkadang pula
memakai bahasa Indonesia dan bahasa klasikal.
Demikian
terdapat pula nilai positif dalam metode ini yaitu, kemampuan dalam menamatkan
kitab lebih cepat dan dapat mengajar santri dengan skala yang lebih banyak dan
pemahaman yang diberikan oleh pembina itu sendiri lebih bervariatif, ini akan
memberikan pengetahuan lebih banyak kepada para santri.
b)
Metode evaluasi
Metode
ini bisaanya digunakan dalam waktu-waktu tertentu saja, dan memang sudah
ditentukan oleh asatidz. Sebelum pelaksanaannya santri diberitahu terlebih
dahulu, agar mereka memiliki persiapan, bahkan dalam evaluasi yang berbentuk acara
Gema Imtihan, para santri diberikan soalnya dan ketika acara tersebut dimulai
asatidz mempertanyakan soal yang sudah diberikan dan para santri menjawab.
Pertanyaan-pertanyan
tersebut bisaanya dalam bentuk lisan dan tulisan. Metode ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman santri terhadap materi yang telah
diterimanya. Metode ini digunakan pada seluruh materi kitab kuning.
c)
Metode diskusi
Metode ini
kelihatannya bisa dikatakan metode baru bagi kalangan pesantren, metode diskusi
diterapakan oleh pondok pesantren Qamarul Huda Bagu dalam jangka waktu enam
bulan sekali dan pesertanya dikhususkan hanya bagi santri yang sudah berstatus
mahasiswa atau dengan kata lain khusus bagi santri yang mengenyam pendidikan Ma’had
Aly.
d)
Metode hafalan
Tampaknya
metode ini adalah metode yang merupakan ciri khas yang sangat melekat pada
sistem pendidikan tradisional, termasuk pesantren. Di Pondok Pesantren Qamarul
Huda Bagu, metode ini digunakan dengan membagi golongan menjadi dua,
yang pertama khusus bagi para santri yang bestatus mahasiswa diwajibkan
menghafal al- fiyah dan arbain nawawi, adapun bagi para santri
yang belum diwajibkan menghafal matan
jurumiyah, matan taqrib dan ayat-ayat pendek Al-Qur’an.
2. Faktor
Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya pembelajaran di pondok pesantren
memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk kader-kader penerus perjuangan ulama’
yang berguna untuk masyarakat, agama, bangsa dan negara.
Dalam
proses pembelajaran kitab kuning, diharapkan terjadinya proses perubahan pada
santri baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotoriknya, sehingga akan
berubah pula tingkah laku para santri dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
pemahaman agama, cara berpikir, maupun akhlaknya ke arah yang positif.
Dalam
pencapaian tujuan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu
faktor-faktor apa sajakah yang mendukung proses berlangsungnya pembelajaran dan
faktor yang menghambatnya. Faktor-faktor tersebut meliputi santri, asatidz,
media, metode, materi, serta waktu pelaksanaannya.
a.
Faktor-Faktor Pendukung
Beberapa
hal yang mendukung dalam pelaksanaan pembelajaran kitab kuning di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu antara lain meliputi sarana dan prasarana
pembelajaran, materi pembelajaran serta santri dan asatidz (asatidz) dalam
proses pembelajaran kitab kuning. Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan secara
terpisah.
1)
Sarana dan Prasarana Pembelajaran
Secara
sederhana sarana dan prasarana (sarpras) dapat dirumuskan sebagai segala
sesuatu yang dapat memberikan kemudahan kepada para santri dalam memperoleh
sejumlah informasi, pengetahuan, pemahaman, dan kreatifitas dalam proses
belajar-mengajar.
Pembelajaran
kitab kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu memiliki sarana dan
prasarana yang cukup memadai, sehingga santri tidak menemui kesulitan dalam mempelajari
materi kitab kuning tersebut. Begitu pula halnya dengan asatidz yang dalam hal
ini asatidz yang menyampaikan isi dari kitab kuning akan lebih mudah untuk
memberikan pembelajaran, penjelasan dan pemahaman terhadap para santri.
Adapun
sarana dan prasarana yang tersedia antara lain ruang pembelajaran yang jauh
dari keramaian, papan tulis, spidol, penghapus, dan lain sebagainya. Sarpras
ini telah peneliti paparkan pada bagian paparan data.
2)
Materi Pembelajaran
Sistem
pendidikan yang dipakai oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu adalah sistem pendidikan
Diniyah dan pendidikan Ma’had Aly. Dalam pendidikan diniyah ini terbagi pula
kelas-kelas yang diurut sesuai kemampuan santri yang dinilai lewat usianya.
Dalam setiap tingkatan kelas, materi yang diajarkan oleh asatidz selalu
memiliki keterkaitan dengan kitab yang lainnya. Sehingga dengan ini santri akan
lebih memiliki pengetahuan yang luas tentang materi yang diajarinya.
Demikian
pula dengan adanya pendidikan Ma’had Aly yang dikhususkan kepada para santri
yang telah berstatus mahasiswa dapat mempelajari kitab-kitab yang kapasitasnya
lebih tinggi dan memberikan pengetahuan yang lebih dalam pembelajaran kitab
kuning dengan menilik dan membandingkan pendapat para ulama’ salaf.
3)
Santri dan asatidz
Santri
sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran kitab kuning, juga memiliki
peran penting terhadap usaha pencapaian tujuan pembelajaran kitab kuning.
Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya bahwasanya Pondok ini sebagian para santri
telah mengenyam pendidikannya lebih dahulu yang pada akhirnya adanya saling
bertanya antara satu dengan yang lainnya tentang masalah-masalah yang dihadapi
masing-masing pihak.
Faktor
pendukung yang lain adalah para asatidz yang didiatangkan dari luar, seperti
yang telah peneliti paparkan sebelumnya yaitu para tuan guru yang berbasis NU dan para alumni dari lulusan pondok
pesantren lain. Begitu pula dengan adanya bimbingan dan pengajaran langsung
dari Pembinanya.
Diantara
mereka akan disebut sebagai pengajar yang berkualitas apabila ia mampu
mengadakan penelitian dan pengembangan ilmu yang ditekuninya. Lulusan dari
berbagai pondok pesantren, serta lulusan dari makkah dan madinah.
b.
Faktor-Faktor Penghambat
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, bahwa faktor penghambat pelaksanaan pembelajaran
kitab kuning meliputi; santri dan asatidz, media, metode, serta waktu
pelaksanaan. Kesemuanya akan dijelaskan secara terpisah.
1)
Asatidz dan Santri
Santri dan
ustadz memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran kitab
kuning. Selama pembelajaran berlangsung, maka saat itu pula keaktifan dari
ustadz dan santri sangat diperlukan. Sebab, tujuan pembelajaran dikatakan
berhasil apabila ada timbal balik antara guru dan murid.
Dari
beberapa penuturan para pengajar/ustadz bahwa selama pembelajaran kitab
berlangsung, santri yang kurang aktif (tidak hadir), kurang memiliki semangat
tinggi dalam belajar, akan menghambat jalannya pembelajaran kitab kuning. Ada
beberapa penyebab yang menjadikan santri kurang semangat dalam mengikuti
pembelajaran kitab kuning. Pertama, sebagian besar waktu yang dimiliki oleh
santri tersita oleh sekolah formal, karena mengingat padatnya kegiatan sekolah
formal mulai dari pagi hingga sore hari, baik yang sifatnya intra maupun
ekstra.
Di samping
itu juga, hubungan yang kurang ‘harmonis’ atau miskomunikasi antara santri dan
ustadz disebabkan kesibukannya masing-masing.
Maka tidak
heran jika para ustadz belum mengenal karakter yang dimiliki santri. Padahal
pengenalan dan pendalaman karakter anak didik akan sangat membantu dan
mempermudah guru dalam penyampaian materi, serta bisa melakukan penyesuaian
metode yang akan digunakan, serta arah bakat para santri itu sendiri.
Seperti
yang telah kita ketahui, tugas guru yang paling utama adalah bagaimana
mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan
rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga tumbuh minat dan nafsunya untuk
belajar.
Sementara
itu juga penguasaan santri terhadap materi kitab kuning dalam pembelajaran di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu, santri masih merasa kesulitan dalam menguasai
kitab kuning, karena mereka sendiri tidak bisa memahami bahasa klasikal yang
telah peneliti gambarkan diatas dan juga belum menguasai bahasa Arab beserta
ilmu alatnya (nahwu dan shorof).
Seperti
yang peneliti ketahui bahwa penguasaan bahasa arab serta ilmu alatnya adalah
hal yang urgen dalam memahami kitab kuning, ini disebabkan semua isi kitab
kuning tersebut menggunakan bahasa arab dan banyak berisi istilah-istilah yang
jikalau para pengajar/ustadz tidak menyesuaikan dengan bahasa kekinian, maka
berakibat para santri sulit memahami kandungannya.
Inilah yang
menjadi salah satu syarat untuk memahami kitab kuning dan dari beberapa
penuturan ustadz, bahwa santri juga masih ada yang belum menguasai tata cara
penulisan Arab, sehingga ustadz menemui kesulitan ketika mengoreksi tugas yang
diberikannya.
2)
Media Pembelajaran
Guna
menyampaikan pesan yang terdapat dalam kitab kuning, seorang ustadz membutuhkan
suatu media pembelajaran, sebagai salah satu upaya untuk merangsang pikiran,
perasaan, perhatian dan minat santri dalam proses pembelajaran tersebut.
Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu merupakan salah satu pondok pesantren yang memiliki
dan memegang teguh prinsip kesederhanaan. Maka berangkat dari prinsip itulah,
media pembelajaran yang terdapat di pesantren ini masih kurang memadai. Seperti
keberadaan buku paket di pesantren, masih ada dari para santri yang tidak
memilikinya. Sehingga sulit bagi para pengajar untuk menyampaikan dan
memberikan pemahaman materi terhadap santri.
Selain
keberadaan buku paket yang kurang memadai, juga banyaknya buku-buku terjemahan
kitab yang membuat santri malas untuk mempelajari kitab non terjemahan,
sehingga santri lebih memilih untuk mempelajari kitab terjemahan tersebut.
Inilah yang menyebabkan santri untuk tidak terbisaa dalam memahami dan
menguasai materi kitab kuning.
3)
Metode Pembelajaran
Pendidikan
agama islam haruslah diinternalisasikan ke dalam kepribadian para santri agar
adanya keseimbangan antara ilmu dengan akhlak sebagai bekal untuk menjalani
kehidupan, baik di dunia maupun di alam akhirat. Hal ini berarti bahwa
pendidikan agama islam memerlukan pendekatan pengajaran yang berbeda dari pendekatan
subjek pelajaran lain, karena di samping mencapai penguasaan juga menanamkan
komitmen, maka metode yang digunakan dalam dalam pengajaran pendidikan agama
harus mendapatkan perhatian yang seksama dari pendidik, karena memiliki
pengaruh yang sangat berarti atas keberhasilannya.
Metode
tidak hanya berpengaruh pada peningkatan penguasaan materi saja akan tetapi
juga pada penanaman komitmen beragama, karena yang terakhir ini lebih ditentukan
oleh proses pengajarannya daripada materinya.
Metode yang
dipakai dalam pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (dominan)
adalah metode bandongan. Dalam metode ini, tuan
guru menunjuk salah satu santri untuk membaca, kemudian tuan guru menerjemahkan, dan menerangkan
kandungan yang terdapat dalam kitab kuning, sedangkan santri menyimak dengan
seksama, dan menulis ulang apa yang telah disampaikan oleh tuan gurunya.
Ternyata
dengan pemakaian metode ini, sebagian para santri mengalami kejenuhan, sebab
metode ini telah tersaingi dengan metode-metode yang ada di lembaga-lembaga
formal dan juga tidak adanya feedback dalam pembelajaran kitab kuning.
Inipun
berdampak pada metode yang dilakukan oleh asatidz, baik asatidz maupun para
santri senior ketika dalam proses pembelajaran, para santri hanya mendengar dan
mematuhi apa yang diajarkan, dengann tidak adanya sikaf kritis dari para santri
tersebut.
Dalam
implementasi metode diskusi juga masih kekurangan dalam pemahaman dan variasi
kitab kuningnya dari para santri yang berstatus mahasiswa. Hal tersebut sama
dengan metode hafalan yang terhambat oleh minat menghafal para santri.
Demikianpun metode evaluasi yang sifatnya mempermudah para santri dalam
melewatinya.
4)
Waktu Pelaksanaan
Dari
beberapa komponen pembelajaran, ada satu hal yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan pembelajaran, yaitu waktu pelaksanaan pembelajaran itu sendiri.
Sebab, berbicara masalah waktu, maka berkaitan erat dengan situasi dan kondisi
pelaksanaan pembelajaran.
Menurut
pengamatan peneliti, waktu pelaksanaan pembelajaran kitab kuning di Pondok
Pesantren Qamarul Huda Bagu bisa dikatakan cukup padat. Pembelajaran kitab
dilakukan pada malam hari yaitu setelah shalat magrib, isya’, subuh dan ba’da
asar. Hal tersebut diakui oleh beberapa asatidz sebagai akibat ketidak
konsentrasian para santri disebabkan waktu kegiatan yang lain terbentur, yang
para santri sangat sedikit memiliki waktu istirahat. Jadi para santri sulit
untuk memahami dan para satidz sulit memberikan pemahaman mengenai materi kitab
kuning.
3. Upaya-Upaya
yang Dilakukan oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu dalam Mengatasi
Hambatan-Hambatan dan Memenuhi Dukungan dalam Implementasi Pembelajaran Kitab
Kuning
Banyak
kendala-kendala yang dihadapi oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu dan
pendukung yang masih belum terpenuhi dalam Implementasi Metode Pembelajaran
Kitab Kuning, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, hanya saja
untuk melaksanakan program pembelajaran kitab kuning tersebut harus menemukan
sebuah solusi yang mampu menyelesaikan kendala-kendala tersebut dan memenuhi
pendukung yang belum terpenuhi, baik itu yang berada pada asatidz, santri, sarana dan prasarana, media
pembelajaran, metode pembelajaran dan waktu pelaksanaannya.
Dibawah
ini peneliti akan menjelaskan secara spesifik mengenai upaya-upaya tersebut
diatas.
a.
Upaya-Upaya dalam Mengatasi
Hambatan-Hambatan
1)
Asatidz dan Santri
Masalah yang
telah ditemukan peneliti mengenai asatidz dan santri bahwa adanya santri kurang
aktif dan tidak memiliki semangat tinggi dalam belajar dan penguasaan dalam
gramatikal bahasa arab masih minim. Hal tersebut bisa diatasi dengan cara memberikan
dan memancing kritis para santri dalam pembelajaran kitab kuning agar adanya
timbal balik agar terciptanya semangat belajar lebih tinggi, begitupun dengan
penguasaan gramatikal bahasa arab dapat diatasi dengan memperbanyak latihan lebih
banyak dan memperbanyak menghafal kosa kata bahasa arab.
Adapun
tentang asatidz yang masih menggunakan pengertian klasikal, ketidak mengetahui
karakter para santri sekaligus hubungannya dengan para santri yang kurang
harmonis.
Kesemuanya
dapat diatasi dengan mengusahakan dalam mengartikan bahasa kitab kuning dengan
pengertian kekinian supaya para sanri memahami dan bisa memanifestasikan dalam
kehidupan yang sekarang ini, demikian pula harus mengetahui karakter para
santri sehingga terwujudya karakter tiap-tiap santri dalam pengarahan bakat
masing-masing dan juga perlu diciptakan hubungan yang harmonis antara keduanya
dengan cara saling memperhatikan, lebih-lebih asatidz harus memulai
memperhatikan para santri dalam hal apapun.
2)
Media pembelajaran
Mengenai media
pembelajaran dalam pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda
Bagu ada dua permasalahan, yaitu adanya buku paket yang masih minim dan
komersialisasi terjemahan kitab kuning di kalangan para santri. Kedua masalah
diatas dapat diatasi dengan memenuhi buku paket kepada para santri agar
memudahkan asatidz dalam pembelajaran kitab kuning.
Adapun
tentang komersialisasi itu boleh-boleh saja, akan tetapi hanya dijadikan
perbandingan dalam memahami kitab kunig, padahal itu hanya terjemahan saja
tanpa adanya penjelasan yang mendetail, dengan kenyataan ini adanye kesempatan
bagi asatidz untuk mengembangkan dan menjelaskan lebih detil mengenai
terjemahan kitab kuning tersebut.
3)
Metode pembelajaran
Lain media,
lain pula masalah yang terjadi dengan metode pembelajarannya, yang dimana
metode pembelajaran di pondok pesantren ini menerapkan tiga metode yaitu,
metode bandongan yang sifatnya otoriter, metode diskusi yang belum memadai,
baik dari segi pemahaman maupun refrensinya dan metode hafalan yang semakin
menurun.
Kesemua
metode itu dapat diatasi dengan merubah sedikit demi sedikit dengan membeikan
dan menawarkan Tanya jawab tentang materi kitab kuning dalam metode bandongan,
demikian pula dalam mengatasi keadaan metode diskusi dengan memberikan ilmu
yang lebih mendasar kepada para santri yang bersatus mahasiswa dan menyiapkan pembelajaran
kitab kuning yang banyak dan masalah metode yang terakhir bisa diatasi dengan
cara menjadwalkan waktu-waktu yang efektif dalam menghafal dan
mengkolaborasikan hafalan dengan intonasi lagu-lagu yang bisa memberikan daya
tarik serta mempermudah dalam menghafalnya, sehingga memiliki minat dalam
menghafal. Dan mengupayakan dalam metode evaluasi tidak bersifat dogmatis.
4)
Waktu pelaksanaan
Tentang masalah waktu pelaksanaan
pembelajaran kitab kuning yang padat yang mengakibatkan para santri tidak
konsentrasi dalam mengikuti pembelajran tersebut, hal ini diatasi dengan
menyedikitkan waktu dan lebih meringkas dalam memberikan pemahaman isi kitab
kuning tersebut, sehingga adanya kesesuaian dengan kondisi para santri.
b.
Upaya-Upaya dalam Memenuhi Dukungan
1)
Sarana dan Prasarana Pembelajaran
Mengenai
upaya dalam memenuhi sarana dan prasarana di Pondok Pesantren telah disentuh
pada paparan data diatas bahwa untuk memenuhinya adalah dengan cara bekerja sama
dengan lembaga-lebaga yang ada di sekitar Yayasan Pondok Pesantren Qamarul Huda
Bagu.
2)
Materi Pembelajaran
Terhadap
materi pembelajaran kitab kuning yang terbagi atas dua pendidikan, yaitu
pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly, Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu
mengupayakan dengan cara menyesuaikan meteri dengan tingkat usia para santri
dengan membuat pengklasifikasian terhadap para santri yang belum berstatus
mahasiswa dan mengkhususkan pembelajaran kitab kunig bertaraf lebih tinggi
bagai para santri yang telah berstatus mahasiswa.
3) Santri dan
asatidz
Telah
digambarkan secara jelas mengenai faktor pendukung dari santri dan asatidz
bahwa adanya sebagian santri yang telah mengenyam pendidikan pesantren terlebih
dahulu dan asatidz yang berhaluan ahlussunnah
wal jama’ah dengan lulusan dari beberapa pondok pesantren diluar Lombok,
sehingga dalam mengupayakannya dengan semakin memperbanyak rekrutmen terhadap
calon santri dan asatidz yang telah mengenyam pendidikan pesantren diluar yang
terkenal.
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan dan analisa data yang telah peneliti uraikan
pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan guna menjawab semua rumusan
masalah yang ada, diantaranya yaitu:
1. Bahwasanya Implementasi
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu masih
memiliki corak tradisional, yakni masih menggunakan ilmu-ilmu khas pesantren
yang terdapat dalam kitab kuning dan tidak memasukkan ilmu-ilmu umum dalam
kurikulum pendidikannya. Sedangkan metode pembelajaran kitab yang dipakai di
dalam kelas-kelas Diniyah dan Ma’had Aly meliputi metode bandongan, metode
hafalan, metode evaluasi dan diskusi. Sedangkan metode yang dipakai dalam
pengajian umum adalah metode bandongan, dikarenakan jumlah santri yang sangat
besar. Dalam proses berlangsungnya, sebelum dan sesudah pembelajaran kitab
didahului dengan doa-doa yang ditujukan kepada nabi Muhammad saw, orang tua,
guru, dan pengarang kitab, sehingga diharapkan ilmu yang dipelajarinya akan
membawa barokah.
2. Faktor pendukung
dan penghambat dalam Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning meliputi
beberapa komponen dalam pembelajaran kitab itu sendiri. Adapun faktor pendukung
mencakup sarana dan prasarana pembelajaran yang cukup memadai, materi
pembelajaran yang memiliki keterkaitan dengan kitab-kitab lainnya, serta santri
dan ustadz, yang mayoritas memiliki keilmuan yang memadai. Sedangkan pada
faktor penghambat meliputi santri dan ustadz yang tidak aktif atau kurang
semangat dalam mengikuti pembelajaran kitab, media pembelajaran yang meliputi
buku paket, masih ada santri yang belum memilikinya dan juga adanya buku-buku
terjemahan yang menjadikan santri malas untuk mempelajari kitab non-terjemah,
metode pembelajaran yang monoton mengakibatkan santri dan ustadz merasa jenuh,
dan terakhir adalah waktu pembelajaran kitab yang sangat padat sehingga
berakibat tidak konsentrasinya para santri dalam mengikuti pembelajaran kitab
kuning.
3. Upaya-Upaya
yang Dilakukan oleh Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan
dan Memenuhi Dukungan dalam Implementasi Pembelajaran Kitab Kuning, yaitu:
a.
Upaya-upaya dalam mengatasi
hambatan-hambatan
Dalam
mengatasi hambatan-hambatan asatidz dan santri adalah dengan cara memberikan
dan memancing kritis para santri dalam pembelajaran kitab kuning dan mengupayakn
terciptanya keharmonisan, begitu juga dengan menyiapkan buku paket yang lebih
banyak, sama halnya dengan keempat metode yang diterapkan agar menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi para santri dan waktu pelaksanaan yang lebih
efesien.
b.
Upaya-upaya dalam memenuhi dukungan
Pengupayaan
dalam memenuhi sarana dan prasarana dengan bekerja sama dengan semua lembaga
yang ada, penyesuaian materi pembelajaran dengan tingkat usia para santri dan
memperbanyak dalam merekrut santri dan asatidz dari berbagai lulusan pondok
pesantren.
B.
SARAN
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
kuning di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu dan mengacu pada kesimpulan di
atas, maka saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan
komunikasi antara asatidz dan santri agar tercipta hubungan yang harmonis,
karena dengan begitu, ustadz akan lebih mengenal karakter santri, terutama
dalam proses pembelajaran kitab kuning.
2. Penggunaan
metode pembelajaran kitab lebih baik tidak hanya terfokus oleh satu metode
saja, akan tetapi tidak ada salahnya jika mencoba dengan menggunakan metode
lain. Misalkan untuk materi fiqh menggunakan metode praktek/demonstrasi.
Sehingga santri akan termotivasi untuk lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran
kitab kuning.
3. Dalam
Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Kuning yang terlaksana, tidak dapat
dilepaskan dari hambatan dan dukungan yang akan terus berkembang. Oleh karena
itulah diperlukan solusi-solusi yang kreatif yang mampumenyelesaikan
kendala-kendala yang akan dihadapi nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier,
Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Dawam Rahardjo, M. 1985. Pesantren dan Pembaharuan.
Jakarta: LP3ES.
Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung:
Mizan.
LP2M IAIQH. 2009. Pedoman
Penulisan Skripsi IAIQH Bagu. IAIQH PRES.
Dahlan Al Barry, M. 2001. Kamus Ilmiah Polpuler. Surabaya:
Arkola.
Aqiel Siradj, Sa’id, dkk. 2004. Pesantren Masa Depan. Cirebon:
Pustaka Hidayah.
Tim Penyusun Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Madjid, Nurcholis. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta:
Ciputat Press.
Santoso, Ananda. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung:
Pustaka Dua.
Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Trigenda Karya.
Mahfudh, Sahal. 1994.
Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS.
Azwar, Saifuddin. 2005. Metode Penelitian, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Lexy J, Moeloeng. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif Jakarta: Rineka Cipta.
Suharsimi, Arikunto. 2000. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta:
Jakarta.
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren.
Yogyakarta: LKiS.
Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kyai dan
Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Agama RI, 2003. Pondok Pesantren dan Madrasah
Diniyah pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam .
Qamar, Mujamil.1996. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan., Bandung:
Rosdakarya.
Syahatah, Husein.
1999. Quantum Learning plus: Sukses
Belajar Cara Islam, Bandung: Mizan.
Syaodiah Sukmadina, Nana. 2005. Metode
Penelitian Pendidikan, Bnadung: Remaja Rosdakarya.
Dokumentasi.
Wanwancara.
.
[1]
Arief Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat
Press, Ciputat, 2002, hal.26.
[2]
Kyai adalah sebuah gelar untuk menunjuk para ulama’ dari kelompok islam
tradisional. (Zamakhsayari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta,
1994, hal.55).
[3]
Menurut M.Habib Chirzin, ustadz adalah pembantu kyai yang disebut badal (pengganti)
atau qari’ (pembaca) yang terdiri dari santri senior. (M. Dawam
Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1985, hal.88).
[4]
Sorogan berasal dari kata sorog yang berarti mengajukan, seorang santri
menyodorkan kepada kyai atau ustdz, kemudian diberikan tuntunan cara membaca,
menghafal dan menerjemahkannya (Ibid.hal.118.)
[5]
Bandongan adalah mengikuti dan memperhatikan apa yang dibacakan, diartikan dan
dijelaskan oleh kyai atau ustdz (Ibid.hal.118.)
[6]
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1995, hal.17.
[7]
Observasi pada tanggal 27 maret 2013.
[8]
Ananda Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Pustaka Dua, Surabaya,
2002, hal. 247.
[9]
Ibid, hal.295.
[10]
Armai Arief, Op.Cit., hal.40.
[11]
Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Cirebon,
2004, hal.222.
[12]
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, LKiS,
Yogyakarta, 2001, Hal.3.
[13]
M. Dawam Rahardjo, Op.Cit., hal.55.
[14]
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta,
2004, hal.36.
[15]
Harakat ialah tanda-tanda yang menunjukkan huruf ganda, bunyi pendek, dan tidak
berbaris. (Tim Penyusun Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000., hal.151).
[16]
Sa’id Aqiel Siradj, dkk, Loc.Cit.
[17]
Sa’id Aqiel Siradj, dkk, Op.Cit., hal.335.
[18]
Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren, Ciputat Press, Jakarta, 2002,
hal.68-70.
[19]
Martin Van Bruinessen, Op.Cit., hal.148-163.
[20]
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Trigenda Karya, Bandung, 1993,
hal.300.
[21]
Menurut Mujamil Qamar (Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial,
Yogyakarta:LKiS, 1994. hal.264).
[22]
Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Op.Cit., hal.223.
[23]
Armai Arief, Loc.Cit.
[24]
Menurut Husein Haikal (M. Dawam Rahardjo, Op.Cip., hal.25).
[25]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1995, hal.652.
[26]
UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Citra Umbara, Bandung,
hal.5.
[27]
Sa’id Aqiel Siradj, dkk, Op.Cit., hal. 280.
[28]
Sa’id Aqiel Siradj, dkk, Op.Cit., hal. 281.
[29]
Endang Turmudi, Loc.Cit.
[30]
Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, Erlangga, Jakarta, hal.143.
[31] Ibid, hal.145
[32] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Op.Cit.,
hal.336.
[33]
Sa’id Aqiel Siradj dkk. Op.Cit., hal.281.
[34]
Mujamil Qamar, Op.Cit., hal.146.
[35]
Abdur Rahman Saleh. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Departemen Agama
RI, Jakarta, 1982, hal.80.
[36]
Muhaimin, Op.Cit., hal.89.
[37]
Sa’id Aqiel Siradj. dkk. Op.Cit., hal.284.
[38] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan
Madrasah Diniyah pertumbuhan dan Perkembangannya (Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2003), hal.46-47.
[39]
Zamakhasyari Dhofier, Op.Cit., hal.55.
[40]
Muhaimin, Op.Cit., hal.167.
[41]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Rosdakarya, Bandung, 2004, hal.223.
[42]
Husein Syahatah, Quantum Learning plus, Sukses Belajar Cara Islam, Mizan,Bandung,
1999, hal.46.
[43]
Muhaimin, Op.Cit., hal.112.
[44]
Zamakhasyari Dhofier, Op.Cit., hal.51.
[45]
Nurcholish Madjid, Op.Cit., hal.29.
[46]
Arief Armai., Loc.Cit.
[47]
Nurcholish Madjid, Op.Cit., hal.73.
[48]
M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hal.73.
[49]
M.Dawam Rahardjo, Op.Cit., hal.56.
[51]
Nana Syaodiah Sukmadina, Metode
Penelitian Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal.60.
[52]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, 2006,
hal.12.
[53]
Ibid,hal.17-18.
[54]
Ibid,hal. 120.
[55]
Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002, hal.82.
[56]
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005,
hal.36.
[59]
Suharsimi Arikunto, Op.Cit., hal.133.
[60]
Suharsimi Arikunto, Op.Cit., hal.231.
[61]
Lexy J Moleong, Op.Cit,. hal.103.
[62]
Lexy J Moleong, Op.Cit., hal.248.
[63] Lexy J Moleong, Op.Cit., hal.175-181.
[66]
Dokumentasi pada tanggal 17 Juni 2013.
[67]
Ibid.
[68]
Ibid.
[69]
Wawancara dengan Pembina Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (TGH. H. L. M.
Turmudzi Badaruddin) pada tanggal 12 Juni 2013.
[70]
Dokumentasi Loc.Cit.
[71]
Dokumentasi Loc.Cit.
[72]
Dokumentasi, Loc.Cit.
[73]
Dokumentasi, Loc.Cit.
[74]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I (ketua asrama) pada
tanggal 14 Juni 2013.
[75]
Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (Ustadz H. Zarkasi
Efendi, M.Pd.I) pada tanggal 17 juni 2013.
[76]
Ibid.
[77]
Wawancara dengan Ansori (santri junior) pada tanggal 1 Juli 2013.
[78]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[79]
Wawancara dengan Satriawan (santri senior) pada tanggal 28 Juni 2013.
[80]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[81]
Observasi pada tanggal 16 Juni 2013.
[82]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[83]
Observasi, Op.Cit., tanggal 20 Juni 2013
[84]
Ibid.
[85]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[86]
Observasi, Op.Cit., tanggal 18 Juni 2013.
[87]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[88]
Obsevasi, Op.Cit., tanggal 27 Juni 2013
[89]
Dokumentasi, Loc.Cit.
[90]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[91]
Dokumentasi, Loc.Cit.
[92]
Wawancara dengan Pembina Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (TGH. L. M.
Turmudzi Badaruddin), Loc.Cit.
[93]
Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (Ustadz H. Zarkasi
Efendi, M.Pd.I), Loc.Cit.
[94]
Wawancara dengan Pembina Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (TGH. L. M.
Turmudzi Badaruddin), Loc.Cit.
[95]
Wawancara dengan Ustadz L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[96]
Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (Ustadz H. Zarkasi
Efendi, M.Pd.I), Loc.Cit.
[97]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[98]
Wawancara dengan Ustadz H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.
[99]
Wawancara dengan Pengurus Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu (Ustadz H. Zarkasi
Efendi, M.Pd.I), Loc.Cit.
[100] Wawancara dengan Ansori
(santri junior), Loc.Cit.
[101] Wawancara dengan
Satriawan (santri senior), Loc.Cit.
[102] Wawancara dengan Ustadz
H. L. Tamim Ali Akso, S.Pd.I, Loc.Cit.