Kamis, 10 Desember 2009

MAKALAH USUL FIQH


BAB I
PENDAHULUAN
A      LATAR BELAKANG
Untuk hidup didunia dan kesejahteraannya di ahirat, yang allah turunkan melalui rasulnya yang berupa alqur’an dan hadis, karena dalil- dalil atau nas-nas yang ada dalam al-quran dan hadis terbatas jumlahnya sedangkan peristiwa yang terjadi semakin bertambah sesuai dengan perkembangan jumlah manusia yang setiap hari bertambah sehingga peristiwa yang terjadi menjadi tidak terbatas.
Dari masalah- masalah yang belum ada nasnya Kemudian dimasukkannya hukum –hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (di ijma’ ) sehingga oleh jumhurul ulama’ disepakati bahwa   salah satu suber- sumber syariat islam adalah ijma’
Karena syariat itu adalah hukum –hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani ,diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupannya, maka kita perlu untuk mengetauhui apa yang di maksud ijma’.
B.     RUMUSAN MASALAH
A      Pengertian ijma’
B       Rukun ijma’
C       Kehujjahan ijma’
D      Macam-macam kehujjahan
C.    TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud dan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mempermudah memahami ijma’ dalam amalan manusia.

BAB II
AL-IJMA’


C.    PENGERTIAN IJMA’
Ijma` menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang  yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.”
Menurut istilah ijma, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma.
v  Dasar hukum ijma`
Dasar hukum ijma berupa al-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.



ü  Al-Qur`an
Allah SWT berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ×Žöyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.” (an-Nisâ’: 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusanyang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øŒÎ) ÷LäêZä.[ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiBÍ$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ  
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma   (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$#¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtBÇÊÊÎÈ                                         
Artinya: “Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu`minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma`, sehingga maksud ayat ialah: “barangsiapa yang tidak mengikuti ijma` para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka.”
ü  AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma` tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma` itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
ü  Akal pikiran
Setiap ijma` yang dilakukan atas hukum syara`, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
B.     RUKUN-RUKUN IJMA’
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
3.  Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
4.      Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari’ah.

C.    KEHUJJAHAN
Status_kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at. Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum dengan nilai kehujjahan yang bersifat zhanny. Sedangkan golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’ ini sebagai hijjah yang harus diamalkan, Namun lebih lanjut, kalangan Syi’ah tidak menerima ijma’ sebagai hujjah, dengan alasan karena pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah iman yang mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa).
Untuk menguatkan pendapatnya ini, jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, diantaranya :
1.      Q.S Al-Nisa, ayat 59 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4y7Ï9ºsŒ ×Žöyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  


2.      Hadits Nabi yang artinya : “Umatku tidak akan berkumpul melakukan    kesalahan (H.R.al-Tirmidzi) “ menurut redaksi hadits lain, artinya : “ saya memohon kepada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesalahan lalu Allah mengabulkannya (H.R.Ahmad bin Hambal dan al-Thabari)”.
Apabila mujtahid telah sepakat terhadap suatu ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat. Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat para mujtahid umat Islam, kerenanya pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid dan ijma’ ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, setelah Al-Qur’an dan Hadits.
4.      Kemungkinan terjadinya Ijma’ Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian juga haramnya lemak babi dan lain-lain hukum furu’ sebagaimana yang tersebar dalam kitab-kitab fiqih.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat diantara sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi secara teoritis memang dapat berlaku meskipun sulit terlaksana secara praktis.
Para ulama ushul fiqih klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati , seperti kesepakatantentang pembagian harta waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta waris dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqih kontemporer, seperti Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf, dan Wahbah Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah dizaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun dimasa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka yang mereka maksud kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefenisiskan oleh para ahli ushul fiqih.

  1. MACAM-MACAM IJMA’
Macam-macam ijma’. Adapun ijma’ ditinjau dari cara-cara terjadinya atau cara menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
    1. Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan dengan cara memberi fatwa atau mempraktekkannya.
    2. Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dari hukum suatu peristiwa dengan memfatwakannya atau mempraktekkannya, sedangkan sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya dan tidak pula menentangnnya.
      Ijma’ sharih merupakan ijma’ yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan ijma’ sukuti adalah merupakan ijma’ i’tibari (relatif) lantaran mujtahid yang tidak memberi tanggapan belum tentu menunjukkan pada sikap setuju. Dengan demikian tidak menjamin adanya kesepakatan atau ijma’, yang akibatnya selalu dipertentangkan kehujjahannya. Kemudian jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dkatakan sebagai hujjah, disamping ijma’ sukuti itu anya merupakan pendapat sebagian mujtahid.
Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Ijma’ Qathi’ Dilalah, yakni hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan, serta tidak boleh mengadakan ijtihad terhadap hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh ijma’ itu (Ijma’ Sharih/Qath’i).

2.      Ijma’ Zhanii Dalalah, yakni hukumnya diduga kuat mengenai suatu kejadian, oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid (Ijma’ sukuti). 

Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ Qath’i, yaitu ijma’ yang diketahui terjadinya diantara umat ini secara pasti.
2.      Ijma’ Zhanni, yaitu ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan cara menelaah dan meneliti.
Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu
1.      Dengan Ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
2.      Dengan Perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.
3.      Dengan Diam (sukuti), yaitu apabila tidak ada diantara para mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1.      Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2.      Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3.      Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4.      Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5.      Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Objek ijma’ Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
















BAB III
PENUTUP
A      KESIMPULAN
Ijma’ menurut bahasa adalah azam dan ittifaq(kesepakatan). Sedangkan menurut istilah yang sering dipakai oleh kebanyakan ulama adalah : Status kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at, yaitu Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum, dengan dalil dari Al-Quran dan Sunnah.
Kemungkinan terjadinya Ijma’, yaitu Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian juga haramnya lemak babi dan lain-lain.
Macam-macam ijma’, yaitu : Adapun ijma’ ditinjau dari cara-cara terjadinya atau cara menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Ijma’ Sharih,
Ijma’ Sukuti, Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu : Ijma’ Qathi’ Dilalah,  Ijma’ Zhanii Dalalah, Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu : Ijma’ Qath’i,  Ijma’ Zhanni, Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu : Dengan Ucapan (qauli), Dengan Perbuatan (fi’li), Dengan Diam (sukuti),





  1. SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari masyarakat pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kepada Dosen pengajar diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan ilmutafsir demi terwujudnya hubungan mahasiswa dengan masyarakat.